Aldon

Samosir

Aldon Samosir

Guru dari Kampoeng

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Rabu, 12 Maret 2008

Model Pembelajaran

REVITALISASI MODEL PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SEKOLAH

Sebagai bahasa resmi (negara), usia bahasa Indonesia sudah mencapai bilangan ke-62 tahun. Bahkan, dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia sudah berusia 79 tahun. Jika dianalogikan dengan kehidupan manusia, dalam rentang usia tersebut idealnya sudah mampu mencapai tingkat “kematangan” dan “kesempurnaan” hidup, sebab sudah banyak merasakan liku-liku dan pahit-getirnya perjalanan sejarah. Untuk menggetarkan gaung penggunaan bahasa Indonesia dengan baik dan benar pun pemerintah telah menempuh “politik kebahasaan” dengan menetapkan bulan Oktober sebagai Bulan Bahasa.

Namun, seiring dengan bertambahnya usia, bahasa Indonesia justru dihadang banyak masalah. Pertanyaan bernada pesimis pun bermunculan. Mampukah bahasa Indonesia menjadi bahasa budaya dan bahasa Iptek yang berwibawa dan punya prestise tersendiri di tengah-tengah dahsyatnya arus globalisasi? Mampukah bahasa Indonesia bersikap luwes dan terbuka dalam mengikuti derap peradaban yang terus gencar menawarkan perubahan dan dinamika? Masih setia dan banggakah para penuturnya dalam menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi yang efektif di tengah-tengah perubahan dan dinamika itu?

Sementara itu, jika kita melihat kenyataan di lapangan, secara jujur harus diakui, bahasa Indonesia belum difungsikan secara baik dan benar. Para penuturnya masih dihinggapi sikap inferior (rendah diri) sehingga merasa lebih modern, terhormat, dan terpelajar jika dalam peristiwa tutur sehari-hari, baik dalam ragam lisan maupun tulis, menyelipkan setumpuk istilah asing –padahal sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia.
Agaknya pemahaman, penghayatan, dan penghargaan kita terhadap bahasa nasional dan negara sendiri belum tumbuh secara maksimal dan proporsional. Padahal, tak henti-hentinya pemerintah menganjurkan untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Bahkan, juga telah menunjukkan perhatian yang cukup besar dan serius dalam upaya menumbuhkembangkan bahasa Indonesia. Melalui “tangan panjang”-nya, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (P3B), pemerintah telah meluncurkan beberapa kaidah kebahasaan baku agar dapat dijadikan sebagai acuan segenap lapisan masyarakat dalam berbahasa Indonesia, seperti Pedoman Umum Ejaan yang Disempurnakan (EYD), Pedoman Umum pembentukan Istilah (PUPI), Tata Bahasa Indonesia Baku (TBIB), maupun Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Akan tetapi, beberapa kaidah yang telah dikodifikasi dengan susah-payah itu tampaknya belum banyak mendapatkan perhatian masyarakat luas. Akibatnya bisa ditebak. Pemakaian bahasa Indonesia bermutu rendah: kalimatnya rancu dan kacau, kosakatanya payah, dan secara semantik sulit dipahami maknanya. Anjuran untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar seolah-olah hanya bersifat sloganistis, tanpa tindakan nyata dari penuturnya.
Bahasa KeduaMengapa hal itu bisa terjadi? Mengapa masyarakat seolah-olah cuek dan masa bodoh terhadap segala macam kaidah kebahasaan yang telah ditetapkan sebagai acuan?

Setidaknya dilatarbelakangi oleh dua sebab yang cukup mendasar. Pertama, dalam kehidupan sehari-hari, bahasa Indonesia hanyalah merupakan bahasa kedua setelah bahasa daerah sebagai bahasa ibu. Keadaan semacam ini, paling tidak ikut memengaruhi rendahnya pemahaman, penghayatan, dan penghargaan penutur terhadap bahasa Indonesia, sebab mereka telah terbiasa bertutur dengan menggunakan kerangka berpikir bahasa daerah, sehingga menjadi “gagap” ketika mereka harus menggunakan bahasa Indonesia secara langsung.

Kedua, kesalahan dalam berbahasa Indonesia lolos dari jerat hukum. Tampaknya tak ada sebuah ayat pun dalam hukum kita yang memberikan perhatian terhadap para penutur yang dengan sengaja “merusak” bahasa. Akibatnya, mereka bisa leluasa dalam mempermainkan dan memanipulasi bahasa sesuai dengan selera dan kepentingannya, tanpa ada rasa takut terkena denda atau sanksi apa pun.
Kedua sebab mendasar tersebut diperparah lagi dengan masih banyaknya tokoh masyarakat tertentu yang seharusnya menjadi anutan, tetapi nihil perhatiannya terhadap penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Dalam situasi masyarakat paternalistik seperti di negeri kita, keadaan semacam itu jelas sangat tidak menguntungkan, sebab masyarakat akan ikut latah, beramai-ramai meniru bahasa tutur tokoh anutannya sebagai bentuk penghormatan dalam versi lain.

RevitalisasiSelain kondisi yang kurang kondusif semacam itu, bobot dan mutu pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah pun tak henti-hentinya dipertanyakan. Hal ini memang beralasan, lantaran sekolah diyakini sebagai institusi yang diharapkan mampu melahirkan generasi bangsa yang memiliki kebanggaan terhadap bahasa nasional dan negaranya, berkedisiplinan dan berkesadaran tinggi untuk berbahasa yang baik dan benar, serta punya penghargaan yang memadai terhadap bahasa Indonesia.
Namun, yang terjadi hingga saat ini, pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dinilai belum menunjukkan hasil optimal seperti yang diharapkan. Proses pembelajarannya berlangsung timpang; seadanya, tanpa bobot, dan monoton sehingga peserta didik terpasung dalam suasana pembelajaran yang kaku dan membosankan. Singkatnya, pembelajaran bahasa Indonesia masih memprihatinkan hasilnya. Keterampilan berbahasa siswa rendah sehingga tidak mampu mengungkapkan gagasan dan pikirannya secara logis, runtut, dan mudah dipahami.

Keadaan semacam itu jelas sangat memprihatinkan kita semua, sebab –seperti dikemukakan (1994)– bahasa Indonesia merupakan mata pelajaran yang sangat penting bukan saja karena bahasa Indonesia adalah alat komunikasi yang terpenting dalam masyarakat, melainkan juga karena penguasaan bahasa Indonesia yang baik akan sangat membantu siswa dalam memahami mata pelajaran lain yang menggunakan bahasa Indonesia. Bagaimana mungkin seorang siswa mampu belajar fisika, matematika, biologi, atau kimia, kalau penguasaan bahasanya nol.

Kondisi pembelajaran bahasa Indonesia yang demikian memprihatinkan, mau atau tidak, mengharuskan kita untuk melakukan langkah “revitalisasi”, yaitu dengan menghidupkan dan menggairahkan kembali proses pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah didukung semangat guru yang profesional dan gairah siswa yang terus meningkat intensitasnya dalam belajar dan berlatih berbahasa.

Langkah “revitalisasi” yang mesti ditempuh, di antaranya, pertama, menciptakan dan mengembangkan profesionalisme guru. Upaya menciptakan profesionalisme hendaknya dimulai sejak calon guru menempuh pendidikan di LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan) agar kelak setelah benar-benar menjadi guru tidak asing lagi dengan dunianya dan siap pakai. Jelas, tuntutan ideal semacam ini bukan tugas yang ringan bagi LPTK, sebab selain harus mampu mencetak lulusan yang punya kemampuan akademik tinggi, juga harus memiliki integritas kepribadian yang kuat dan keterampilan mengajar yang andal.

Kedua, guru hendaknya tidak terlalu banyak dibebani oleh tuntutan kurikulum yang dapat “memasung” kreativitasnya dalam proses pembelajaran. Tujuan pembelajaran bahasa bukanlah untuk menjadikan siswa sebagai ahli bahasa, melainkan sebagai seorang yang dapat menggunakan bahasa untuk keperluannya sendiri, dapat memanfaatkan sebanyak-banyaknya apa yang ada di luar dirinya dari mendengar, membaca, dan mengalami, serta mampu berkomunikasi dengan orang di sekitarnya tentang pengalaman dan pengetahuannya. Ini artinya, guru harus diberikan keleluasaan untuk mengekspresikan kreativitas mengajarnya di kelas sehingga mampu menciptakan atmosfer pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Hal ini bisa terwujud jika kurikulum tidak semata-mata dijadikan sebagai “kitab suci” yang secara “zakelijk” harus diterapkan di kelas, tetapi juga perlu dikembangkan dan dieksplorasi secara kreatif sehingga pembelajaran benar-benar bermakna bagi siswa didik.

Ketiga, buku paket yang “wajib” dipakai hendaknya diupayakan untuk dicarikan buku ajar yang sesuai dengan tingkat kematangan jiwa dan latar belakang sosial-budaya siswa. Hal ini perlu dipikirkan, sebab bahan ajar yang ada dalam buku paket dinilai belum sepenuhnya mampu menarik minat dan gairah siswa untuk terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran.

Dan keempat, guru bahasa bahasa hendaknya diberi kebebasan untuk mengembangkan kreativitasnya di sekolah secara bebas dan leluasa, tanpa harus diindoktrinasi dengan berbagai macam bentuk tekanan tertentu yang justru akan menjadi kendala dalam mewujudkan situasi pembelajaran yang ideal.

“Revitalisasi” tersebut hendaknya juga diimbangi pula dengan peran-serta masyarakat agar bisa menciptakan sauasana kondusif yang mampu merangsang siswa untuk belajar dan berlatih berbahasa Indonesia secara baik dan benar, dengan cara memberikan teladan yang baik dalam peristiwa tutur sehari-hari. Demikian pula media massa (cetak/elektronik) hendaknya juga menaruh kepedulian yang tinggi untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan kaidah kebahasan yang berlaku.
Jika langkah “revitalisasi” di atas dapat terwujud, tujuan pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah bukan mustahil diraih, anjuran pemerintah untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar kepada seluruh masyarakat pun tidak akan bersifat sloganistis. Bahkan, mungkin pada gilirannya nanti bahasa Indonesia benar-benar akan menjadi bahasa budaya dan bahasa Iptek yang wibawa dan punya prestise tersendiri di era globalisasi, luwes dan terbuka, dan para penuturnya akan tetap bangga dan setia menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi yang efektif di tengah derap peradaban zaman. Sebab, jutaan generasi yang memiliki kebanggaan dan kecintaan terhadap bahasa nasional dan negaranya akan lahir dari sekolah.

Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia



Sebagai bahasa resmi (negara), usia bahasa Indonesia sudah mencapai bilangan ke-62 tahun. Bahkan, dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia sudah berusia 79 tahun. Jika dianalogikan dengan kehidupan manusia, dalam rentang usia tersebut idealnya sudah mampu mencapai tingkat “kematangan” dan “kesempurnaan” hidup, sebab sudah banyak merasakan liku-liku dan pahit-getirnya perjalanan sejarah. Untuk menggetarkan gaung penggunaan bahasa Indonesia dengan baik dan benar pun pemerintah telah menempuh “politik kebahasaan” dengan menetapkan bulan Oktober sebagai Bulan Bahasa.
Namun, seiring dengan bertambahnya usia, bahasa Indonesia justru dihadang banyak masalah. Pertanyaan bernada pesimis pun bermunculan. Mampukah bahasa Indonesia menjadi bahasa budaya dan bahasa Iptek yang berwibawa dan punya prestise tersendiri di tengah-tengah dahsyatnya arus globalisasi? Mampukah bahasa Indonesia bersikap luwes dan terbuka dalam mengikuti derap peradaban yang terus gencar menawarkan perubahan dan dinamika? Masih setia dan banggakah para penuturnya dalam menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi yang efektif di tengah-tengah perubahan dan dinamika itu?
Sementara itu, jika kita melihat kenyataan di lapangan, secara jujur harus diakui, bahasa Indonesia belum difungsikan secara baik dan benar. Para penuturnya masih dihinggapi sikap inferior (rendah diri) sehingga merasa lebih modern, terhormat, dan terpelajar jika dalam peristiwa tutur sehari-hari, baik dalam ragam lisan maupun tulis, menyelipkan setumpuk istilah asing –padahal sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia.
Agaknya pemahaman, penghayatan, dan penghargaan kita terhadap bahasa nasional dan negara sendiri belum tumbuh secara maksimal dan proporsional. Padahal, tak henti-hentinya pemerintah menganjurkan untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Bahkan, juga telah menunjukkan perhatian yang cukup besar dan serius dalam upaya menumbuhkembangkan bahasa Indonesia. Melalui “tangan panjang”-nya, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (P3B), pemerintah telah meluncurkan beberapa kaidah kebahasaan baku agar dapat dijadikan sebagai acuan segenap lapisan masyarakat dalam berbahasa Indonesia, seperti Pedoman Umum Ejaan yang Disempurnakan (EYD), Pedoman Umum pembentukan Istilah (PUPI), Tata Bahasa Indonesia Baku (TBIB), maupun Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Akan tetapi, beberapa kaidah yang telah dikodifikasi dengan susah-payah itu tampaknya belum banyak mendapatkan perhatian masyarakat luas. Akibatnya bisa ditebak. Pemakaian bahasa Indonesia bermutu rendah: kalimatnya rancu dan kacau, kosakatanya payah, dan secara semantik sulit dipahami maknanya. Anjuran untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar seolah-olah hanya bersifat sloganistis, tanpa tindakan nyata dari penuturnya.
Bahasa KeduaMengapa hal itu bisa terjadi? Mengapa masyarakat seolah-olah cuek dan masa bodoh terhadap segala macam kaidah kebahasaan yang telah ditetapkan sebagai acuan?
Menurut hemat penulis, setidaknya dilatarbelakangi oleh dua sebab yang cukup mendasar. Pertama, dalam kehidupan sehari-hari, bahasa Indonesia hanyalah merupakan bahasa kedua setelah bahasa daerah sebagai bahasa ibu. Keadaan semacam ini, paling tidak ikut memengaruhi rendahnya pemahaman, penghayatan, dan penghargaan penutur terhadap bahasa Indonesia, sebab mereka telah terbiasa bertutur dengan menggunakan kerangka berpikir bahasa daerah, sehingga menjadi “gagap” ketika mereka harus menggunakan bahasa Indonesia secara langsung.
Kedua, kesalahan dalam berbahasa Indonesia lolos dari jerat hukum. Tampaknya tak ada sebuah ayat pun dalam hukum kita yang memberikan perhatian terhadap para penutur yang dengan sengaja “merusak” bahasa. Akibatnya, mereka bisa leluasa dalam mempermainkan dan memanipulasi bahasa sesuai dengan selera dan kepentingannya, tanpa ada rasa takut terkena denda atau sanksi apa pun.
Kedua sebab mendasar tersebut diperparah lagi dengan masih banyaknya tokoh masyarakat tertentu yang seharusnya menjadi anutan, tetapi nihil perhatiannya terhadap penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Dalam situasi masyarakat paternalistik seperti di negeri kita, keadaan semacam itu jelas sangat tidak menguntungkan, sebab masyarakat akan ikut latah, beramai-ramai meniru bahasa tutur tokoh anutannya sebagai bentuk penghormatan dalam versi lain.
RevitalisasiSelain kondisi yang kurang kondusif semacam itu, bobot dan mutu pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah pun tak henti-hentinya dipertanyakan. Hal ini memang beralasan, lantaran sekolah diyakini sebagai institusi yang diharapkan mampu melahirkan generasi bangsa yang memiliki kebanggaan terhadap bahasa nasional dan negaranya, berkedisiplinan dan berkesadaran tinggi untuk berbahasa yang baik dan benar, serta punya penghargaan yang memadai terhadap bahasa Indonesia.
Namun, yang terjadi hingga saat ini, pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dinilai belum menunjukkan hasil optimal seperti yang diharapkan. Proses pembelajarannya berlangsung timpang; seadanya, tanpa bobot, dan monoton sehingga peserta didik terpasung dalam suasana pembelajaran yang kaku dan membosankan. Singkatnya, pembelajaran bahasa Indonesia masih memprihatinkan hasilnya. Keterampilan berbahasa siswa rendah sehingga tidak mampu mengungkapkan gagasan dan pikirannya secara logis, runtut, dan mudah dipahami.
Keadaan semacam itu jelas sangat memprihatinkan kita semua, sebab –seperti dikemukakan J.S. Badudu (1994)– bahasa Indonesia merupakan mata pelajaran yang sangat penting bukan saja karena bahasa Indonesia adalah alat komunikasi yang terpenting dalam masyarakat, melainkan juga karena penguasaan bahasa Indonesia yang baik akan sangat membantu siswa dalam memahami mata pelajaran lain yang menggunakan bahasa Indonesia. Bagaimana mungkin seorang siswa mampu belajar fisika, matematika, biologi, atau kimia, kalau penguasaan bahasanya nol.
Kondisi pembelajaran bahasa Indonesia yang demikian memprihatinkan, mau atau tidak, mengharuskan kita untuk melakukan langkah “revitalisasi”, yaitu dengan menghidupkan dan menggairahkan kembali proses pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah didukung semangat guru yang profesional dan gairah siswa yang terus meningkat intensitasnya dalam belajar dan berlatih berbahasa.
Langkah “revitalisasi” yang mesti ditempuh, di antaranya, pertama, menciptakan dan mengembangkan profesionalisme guru. Upaya menciptakan profesionalisme hendaknya dimulai sejak calon guru menempuh pendidikan di LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan) agar kelak setelah benar-benar menjadi guru tidak asing lagi dengan dunianya dan siap pakai. Jelas, tuntutan ideal semacam ini bukan tugas yang ringan bagi LPTK, sebab selain harus mampu mencetak lulusan yang punya kemampuan akademik tinggi, juga harus memiliki integritas kepribadian yang kuat dan keterampilan mengajar yang andal.
Kedua, guru hendaknya tidak terlalu banyak dibebani oleh tuntutan kurikulum yang dapat “memasung” kreativitasnya dalam proses pembelajaran. Tujuan pembelajaran bahasa bukanlah untuk menjadikan siswa sebagai ahli bahasa, melainkan sebagai seorang yang dapat menggunakan bahasa untuk keperluannya sendiri, dapat memanfaatkan sebanyak-banyaknya apa yang ada di luar dirinya dari mendengar, membaca, dan mengalami, serta mampu berkomunikasi dengan orang di sekitarnya tentang pengalaman dan pengetahuannya. Ini artinya, guru harus diberikan keleluasaan untuk mengekspresikan kreativitas mengajarnya di kelas sehingga mampu menciptakan atmosfer pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Hal ini bisa terwujud jika kurikulum tidak semata-mata dijadikan sebagai “kitab suci” yang secara “zakelijk” harus diterapkan di kelas, tetapi juga perlu dikembangkan dan dieksplorasi secara kreatif sehingga pembelajaran benar-benar bermakna bagi siswa didik.
Ketiga, buku paket yang “wajib” dipakai hendaknya diupayakan untuk dicarikan buku ajar yang sesuai dengan tingkat kematangan jiwa dan latar belakang sosial-budaya siswa. Hal ini perlu dipikirkan, sebab bahan ajar yang ada dalam buku paket dinilai belum sepenuhnya mampu menarik minat dan gairah siswa untuk terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran.
Dan keempat, guru bahasa bahasa hendaknya diberi kebebasan untuk mengembangkan kreativitasnya di sekolah secara bebas dan leluasa, tanpa harus diindoktrinasi dengan berbagai macam bentuk tekanan tertentu yang justru akan menjadi kendala dalam mewujudkan situasi pembelajaran yang ideal.
“Revitalisasi” tersebut hendaknya juga diimbangi pula dengan peran-serta masyarakat agar bisa menciptakan sauasana kondusif yang mampu merangsang siswa untuk belajar dan berlatih berbahasa Indonesia secara baik dan benar, dengan cara memberikan teladan yang baik dalam peristiwa tutur sehari-hari. Demikian pula media massa (cetak/elektronik) hendaknya juga menaruh kepedulian yang tinggi untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan kaidah kebahasan yang berlaku.
Jika langkah “revitalisasi” di atas dapat terwujud, tujuan pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah bukan mustahil diraih, anjuran pemerintah untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar kepada seluruh masyarakat pun tidak akan bersifat sloganistis. Bahkan, mungkin pada gilirannya nanti bahasa Indonesia benar-benar akan menjadi bahasa budaya dan bahasa Iptek yang wibawa dan punya prestise tersendiri di era globalisasi, luwes dan terbuka, dan para penuturnya akan tetap bangga dan setia menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi yang efektif di tengah derap peradaban zaman. Sebab, jutaan generasi yang memiliki kebanggaan dan kecintaan terhadap bahasa nasional dan negaranya akan lahir dari sekolah. ***

TULISANKU BUAT MGMP

MGMP, Upaya Meningkatkan Profesionalisme Guru


Abstrak
Program pembinaan tenaga kependidikan biasanya diselenggarakan atas
asumsi adanya berbagai kekurangan dilihat dari tuntutan organisasi,
atau karena adanya kehendak dan kebutuhan untuk tumbuh dan berkembang
di kalangan tenaga kependidikan itu sendiri
Dari berbagai cara membina dan mengembangkan tenaga kependidikan
baik dalam bentuk penyegaran (refreshing) maupun peningkatan kemampuan
(up grading), MGMP dengan komitmen kebersamaan (collaborative effort)
guru mata pelajaran dalam satu rumpun keilmuan dengan kontinuitasnya
daharapkan mampu berperan dalam meningkatkan profsionalisme guru.
Pendahuluan

Secara umum setiap tindakan, aktivitas dan upaya yang dilakukan oleh
seseorang baik secara individual, kelompok maupun dalam masyarakat,
lembaga atau instansi pemerintahan maupun swasta, selalu berkaitan erat
dengan tujuan, pedoman, dasar, idealisme, sarana dan prasarana, waktu.
Kemampuan, situasi dan kondisi yang merupakan aspek penting yang harus
diperhitungkan agar tindakan atau perbuatan dimaksud berhasil dengan
memuaskan. Demikian pula dalam usaha menciptakan pendidikan bagi warga
suatu bangsa tertentu.
Pemerintah atau pengelolaan pemerintah selalu berpijak kepada
cita-cita, kebutuhan, filsafat hidup yang dianut oleh bangsa dari
negara bersangkutan. Dasar atau tempat berpijak untuk melaksanakan
perbuatan tersebut juga berkaitan erat dengan dimensi waktu, yaitu pada
saat tindakan atau perbuatan dimaksud dilaksanakan, baik yang terjadi
pada saat sekarang maupun pada waktu yang akan datang. Dengan singkat
dapat dikatakan bahwa usaha menciptakan pendidikan yang tepat, dalam
arti dapat memenuhi kebutuhan peserta didik dan masyarakat, pengelolaan
pendidikan selalu berorientasi pada adanya perubahan-perubahan yang
dapat terjadi pada setiap waktu. Perubahan-perubahan dimaksud dapat
terjadi pada lingkungan sekitar, daerah yang agak luas, dalam negeri
maupun di luar negeri. Pada umumnya perubahan yang terjadi dan
mempengaruhi pendidikan disebabkan adanya perubahan politik, sosial,
kemajuan, teknologi, dan perkembangan ilmu pengetahuan.
Berkaitan dengan aktivitas atau perbuatan pendidikan sebagaimana
dimaksudkan di atas, M.I. Soelaeman (1988 : 4) dalam perkembangan teori
pendidikan yang dikemukakan dalam Konvensi Nasional Pendidikan
Indonesia terdapat dua cara memandang perbuatan pendidikan, yaitu :
a. Pandangan unsuriah yang memandang perbuatan itu molekul, sehingga
untuk memahami benar-benar suatu perbuatan tertentu dipandang perlu
identifikasi unsur-unsur yang terkecil dan kemudian dikaji corak
pertautannya satu sama lain, dengan kata lain, perbuatan termasuk juga
kedalamnya perbuatan pendidikan merupa kan suatu kumpulan dari
unsur-unsur perbuatan tertentu sehingga merupakan suatu kuantitas.
Pandangan ini memberikan kesempatan bagi suatu pendekatan kuantitatif
terhadap perbuatan termasuk perbuatan keguruan/pendidi kan.
b. Pendekatan holistik, yang memandang suatu perbuatan itu secara
moler, artinya sebagai keseluruhan. Untuk memahami suatu perbuatan
termasuk perbuatan pendidikan tidak cukup dengan hanya memahami suatu
perbuatan yang kecil, melainkan harus melihatnya dalam konteks
keseluruhan perbuatan yang melibatkan perbuatan tersebut.

Berdasarkan pendapat di atas bahwa usaha menciptakan pendidikan itu
pada dasarnya berusaha memenuhi kebutuhan peserta didik dan masyarakat
yang berupa kebutuhan jasmani dan rohani. Kebutuhan jasmani merupakan
kebutuhan dasar yang harus diupayakan sehingga dapat dipenuhi
secukupnya, yaitu kebutuhan sandang, pangan, dan papan serta
perlindungan badan. Sedangkan kebutuhan rohani adalah saling
menghormati nilai-nilai yang dianut oleh anggota keluarga, kelompok,
masyarakat dan bangsa.

Terdapat berbagai cara untuk memenuhi kebutuhan tersebut yang pada
dasarnya bertumpu pada kemampuan atau produktivitas seseorang, yaitu
berupa kemampuan jasmani yang mengutamakan pada kekuatan otot, atau
badan.
Disamping itu juga dapat berupa kekuatan rohani yaitu daya pikir, daya
cipta, penalaran atau dapat pula dua-duanya secara serentak bekerja dan
bergerak mencapai tujuan tertentu.
Pendidikan selalu berusaha agar daya atau kekuatan yang terdapat pada
manusia tersebut dapat ditingkatkan dan dikembangkan sedemikian rupa
sehingga upaya manusia untuk memenuhi kebutuhan yang dimaksud lebih
efektif dan efisien. Dengan singkat dapat menunjang upaya mereka untuk
memenuhi kebutuhan pribadi, keluarga, masyarakat dan negara.
Jelaslah bahwa pendidikan merupakan faktor utama dan pertama dalam
kehidupan manusia dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
sehari-hari, yang berlaku semenjak dalam kandungan sampai ke liang
lahat. Dengan demikian pendidikan bersifat mutlak dalam kehidupan, baik
dalam kehidupan individu, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Oleh
karena itu, pendidikan harus dilaksanakan sebaik mungkin sesuai dengan
kebutuhan individu, kelompok, masyarakat, negara bahkan dunia.

Keberhasilan pendidikan sangat tergantung kepada guru sebagai penggiat
pendidikan yang langsung berhubungan dengan peserta didik.
Tugas utama guru adalah mengajar, maka ia harus mempunyai kewenangan
mengajar berdasarkan kualifikasi sebagai tenaga pengajar. Sebagai
tenaga pengajar, setiap guru harus memiliki kemampuan profesional dalam
bidang mengajar dan pembelajaran.

Dengan kemam puan itu guru dapat melaksanakan perannya, yaitu (1)
sebagai fasilitator, yang menyediakan kemudahan-kemudahan bagi peserta
didik dalam proses belajar mengajar, (2) sebagai pembimbing, yang
membantu siswa mengatasi kesulitan pada proses belajar mengajar, (3)
sebagai penyedia lingkungan, yang berupaya menciptakan lingkungan yang
menantang siswa agar melakukan kegiatan belajar dengan bersemangat, (5)
sebagai model, yang mampu memberikan contoh yang baik kepada peserta
didik agar berperilaku sesuai dengan norma, (7) sebagai motivator, yang
turut menyebar luaskan usaha-usaha pembaharuan kepada masyarakat
khsussunya kepada subjek didik yaitu siswa, (8) sebagai agen moral dan
politik, yang turut serta membina moral masyarakat, peserta didik serta
menunjang upaya-upaya pemba ngunan, (9) sebagai agen kogitif, yang
menyebarluaskan ilmu dan teknologi kepada peserta didik danmasyarakat,
(10), sebagai manajer, yang memimpin kelompok siswa dalam kelas
sehingga proses belajar mengajar berhasil.

Berdasarkan uraian di atas yang dimaksud profesionalisme tenaga
pendidikan, dalam hal ini guru, adalah kemampuan yang dimiliki seorang
guru dalam mengelola proses belajar mengajar dan usaha-usaha yang
dilakukannya dalam menjalan kan tugas dan tanggungjawabnya.
Pembinaan dan Pengembangan Tenaga Kependidikan

Pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan merupakan usaha-usaha
untuk mendayaguna-kan, memajukan dan meningkatkan produktivitas kerja
setiap tenaga kependidikan yang ada di seluruh tingkatan manajemen
organisasi dan jenjang pendidikan (sekolah-sekolah). Tujuan dari
kegiatan pembinaan ini adalah tumbuhnya kemampuan setiap kependidikan
yang meliputi pertumbuhan keilmuannya, wawasan berfikirnya, sikap
terhadap pekerjaannya dan keterampilan dalam pelaksanaan tugasnya
sehari-hari sehingga produktivitas kerja dapat ditingkatkan.
Suatu program pembinaan tenaga kependidikan biasanya diseleng- garakan
atas asumsi adanya berbagai kekurangan dilihat dari tuntutan
organisasi, atau karena adanya kehendak dan kebutuhan untuk tumbuh dan
berkembang di kalangan tenaga kependidikan itu sendiri. Menurut Aas
Syaefuddin dan Johar Permana (1991 : 69) terdapat beberapa prinsip yang
patut diperhatikan dalam penyelenggaraan pembinaan tenaga kependidikan
ini, yaitu :
a. Pembinaan tenaga kependidikan patut dilakukan untuk semua jenis
tenaga kependidikan baik untuk tenaga struktural, tenaga fungsional
maupun tenaga teknis penyelenggara pendidikan.

b. Pembinaan tenaga kependidikan berorientasi pada perubahan tingkah
laku dalam rangka peningkatan kemampuan pelaksanaan tugas sehari-hari
sesuai dengan posisinya masing-masing.

c. Pembinaan tenaga kependidikan dilaksanakan untuk mendorong
meningkatkan kontribusi setiap individu terhadap organisasi pendidikan
atau sistem sekolah, dan menyediakan bentuk-bentuk penghargaan,
kesejahteraan dan insentif sebagai imbalannya guna menjamin
terpenuhinya secara optimal kebutuhan sosial ekonomi maupun kebutuhan
sosial-psikologis.

d. Pembinaan tenaga kependidikan dirintis dan diarahkan untuk mendidik
dan melatih seseorang sebelum maupun sesudah menduduki jabatan /
posisi, baik karena kebutuhan-kebutuhan praktis yang bersifat mendesak
maupun karena kebutuhan-kebutuhan yang berorientasikan terhadap
lowongan jabatan/ posisi dimasa yang akan datang.

e. Pembinaan tenaga kependidikan sebenarnya dirancang untuk memenuhi
tuntutan partum- buhan dalam jabatan, pengembangan profesi, pemecahan
masalah, kegiatan-kegiatan remedial, pemeliharaan motivasi kerja dan
ketahanan organisasi pendidikan.

f. Khusus menyangkut dan jenjang karir tenaga kependidikan disesuaikan
dengan kategori masing-masing jenis tenaga kependidikan itu sendiri.
Meskipun demikian, dapat saja perjalanan karir seseorang menempuh
penugasan yang silih berganti antara struktural dan fungsional hingga
ke puncak karirnya.

Berdasarkan pendapat di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa cara
yang lebih populer dalam membina dan mengembangkan tenaga kependidikan
dilakukan melalui penataran (inservice training) dan ditujukan kepada
guru-guru, baik dalam rangka penyegaran (refreshing) maupun dalam
rangka peningkatan kemampuan mereka (up-grading). Sebenarnya pembinaan
dan pengembangan tenaga kependidikan ini dilakukan pula untuk
tenaga-tenaga kependidikan lainnya (bukan hanya guru-guru) melalui
berbagai cara. Cara-cara ini bisa dilakukan sendiri-sendiri (self
propelling growth) atau bersama-sama (collaborative effort), misalnya
mengi- kuti kegiatan atau kesempatan ; pre-service training, on the job
training, seminar, workshop, diskusi panel, rapat-rapat, simposium,
konprensi dan sebagainya.
Pembinaan Profesionalisme Guru melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP)

Dalam meningkatkan kemampu an profesionalime guru, tidak terlepas dari
peran Dinas Pendidikan dan K3S (Kelompok Kerja Kepala Sekolah) dalam
upaya menyeleng- garakan berbagai kegiatan dalam upaya peningkatan
profesioanlisme guru, kegiatan-kegiatan tersebut diantaranya ; seminar,
lokakarya, penataran dan sebagainya.

Salah satu kegiatan yang selama ini dianggap efektif adalah melalui
Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), yang mana dalam kegiatan ini
guru yang berasal dari satu rumpun (bidang studi) berkumpul untuk
mendiskusikan permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan bidang
studi yang sama.
Dalam kaitannya dengan permasalahan di atas, Bahtiar Hasan (2002:32),
mendefinisikan MGMP sebagai berikut : “Musyawarah Guru Mata Pelajaran
(MGMP) atau Pemantapan Kerja Guru adalah salah satu sistem penataran
guru dengan pola dari, oleh dan untuk guru”.

Dari pendapat di atas jelas bahwa MGMP adalah salah satu bentuk
penataran yang dilakukan oleh guru dengan pola yang dibuat oleh guru
yang bersangkutan dan sekaligus mereka sebagai peserta.
Lebih jauh manfaat MGMP dikemukakan oleh Dian Mulyati Syarfi dalam Makalah Workshop TOT MGMP (2005:15),
sebagai berikut
1. Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) merupakan wadah yang efektif
untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi guru dikelas.

2. Di MGMP guru dengan gaya mengajar yang berbeda dan menghadapi siswa
yang juga berbeda dapat berdiskusi , berbagi pengalaman dan mencari
solusi permasalahan yang dihadapinya di kelas.

3. Program MGMP dirancang sesuai dengan kebutuhan guru mata pelajaran
dan juga disesuaikan dengan paradigma baru dibidang pendidikan.

Selanjutnya Dian Mulyati Syarif (2005 :16-18) mengemukakan tentang
langkah-langkah dalam mendirikan MGMP. Langkah-langkah tersebut adalah :

1. Tetapkan terlebih dahulu :

• Kerangka Anggaran Dasar MGMP

• Nama Organisasi , Tempat kedudukan

• Dasar, Tujuan, Bentuk Kegiatan

• Keanggotaan dan Kepengurusan

• Hak dan Kewajiban Anggota dan Pengurus

• Pendanaan

• Mengumpulkan guru mata pelajaran dengan bantuan kepala Dinas Pendidikan Kota

• Memilih pengurus melalui musyawarah dan menentukan letak sekretariat

• Merancang kegiatan dan program kerja MGMP

• Mencari informasi dari berbagai sumber dan mengembangkan- nya di MGMP

• Mendata / Mencari dukungan dana dengan mengajukan proposal

• Membuat program monitoring dan evaluasi kerja dan pelaporan
2. Buat Rancangan Kegiatan

a. Melakukan reformulasi pembe- lajaran melalui model-model pembelajaran yang variatif seperti:

• Mempersiapkan Program Pengajaran dan mendiskusikan strategi alternatif pembelaja ran yang efektif

• Merancang pengembangan silabus penilaian sesuai dengan paradigma baru Pendidikan

• Merancang Lembaran Kegia- tan Ilmiah untuk tiap kompetensi dasar

• Mendiskusikan penggunaan media pembelajaran yang tepat

b. Mendiskusikan kesulitan kesu litan yang dihadapi dalam KBM di kelas yaitu:

• Menampung permasalahan

• Mendiskusikan solusinya

c. Menampung Action Research guru, dan menyediakan jadwal presentasi

d. Sosialisasi pembaharuan yang didapat oleh guru yang mengikuti penataran tingkat nasional maupun tingkat provinsi.

e. Memperluas wawasan guru dengan mendatangkan nara sumber, studi banding

Apabila dicermati lebih jauh tentang konsep MGMP di atas, nampak bahwa
Musyawarah Guru Mata Pelajaran pada hakikatnya adalah peningkatan
kemampuan kerja yang dalam istilah manajemen lebih dikenal dengan
istilah Program Pendidikan dan Latihan.

Agar tujuan MGMP dapat dicapai, berbagai langkah perlu ditempuh dalam
menentukan bentuk dan proses MGMP, hal ini sesuai dengan pendapat yang
dikemukakan oleh Marwansyah dan Mukaram (2000 : 67) bahwa proses
pendidikan dan latihan hendaknya dilaksanakan dengan mempertimbangkan
hal-hal sebagai berikut :

1. Penentuan kebutuhan pendidikan dan latihan atau suatu penilaian keutuhan yang komprahensif.

2. Penetapan tujuan yang bersifat umum dan spesifik.

3. Pemilihan metode.

4. Pemilihan media.

5. Implementasi program.

6. Evaluasi program.

Dari pendapat Marwansyah dan Mukaram dapat disimpulkan bahwa proses
pendidikan dan latihan yang salah satu bentuknya adalah MGMP, harus
didahului oleh penentuan kebutuhan dan diakhiri dengan evaluasi program.
Kesimpulan
Guru memiliki peranan yang strategis dalam mewujudkan
tujuan pendidikan nasional. Hal itu dapat dipamami karena guru adalah
profesi pendidikan yang langsung berhubungan dengan peserta didik.

Guru merupakan suatu profesi yang artinya suatu jabatan atau pekerjaan
yang memerlukan keahlian khusus. Tugas guru sebagai profesi meliputi
mendidik, mengajar dan melatih. Mendidik berarti meneruskan dan
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, sedangkan melatih berarti
mengembangkan keterampilan-keterampilan pada peserta didik.

Perkembangan baru terhadap pandangan belajar mengajar membawa
konsekuensi kepada guru untuk meningkatkan peranan dan kompetensi nya
proses belajar mengajar dan hasil belajar siswa banyak ditentukan oleh
peranan dan kompetensi guru.

Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk meningkatkan kompetensi guru
adalah melalui forum MGMP, yang mana dalam kegiatan ini guru dalam satu
rumpun bidang studi dan dalam satuan wilayah tertentu, melakukan
kegiatan bersama untuk meningkatkan kemampuan yang berhubungan dengan
profesnya. Agar tujuan MGMP dapat dicapai dengan optimal maka beberapa
hal harus menjadi pertimbangan, yaitu :1). Penentuan kebutuhan
pendidikan dan latihan atau suatu penilaian keutuhan yang komprahensif.
2) Penetapan tutuan yang bersifat umum dan spesifik. 3) Pemilihan
metode. 4) Pemilihan media, 5) Implementasi program, dan 6) Evaluasi
program.

Melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) diharapkan kemampuan guru
dapat meningkat yang pada akhirnya akan berpengaruh positif terhadap
kinerja guru dalam menjalankan fungsinya.
Daftar Pustaka

Aas Saefudin dan Johar Permana, 1991, Administrasi Pendidikan, FIP, IKIP Bandung

Bahtiar Hasan, (2002) Perencanaan Pengajaran Bidang Studi, Jakarta, Pustaka Ramadhan.

Dian Mulyati, 2005, Workshop TOT MGMP, Makalah.

Depdikbud, Petunjuk Teknis Pelaksanaan MGMP, (2000), Kanwil Depdikbud Propinsi Jawa Barat.

E. Mulyasa, (2005), Menjadi Guru Profesional, Bandung, Remaja Rosda Karya.

Marwansyah dan Mukaram (2000), Manajemen Sumber Daya Manusia, Bandung, Politeknik Bandung Press.

Malayu S.P. Hasibuan, (2001), Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta : Pustaka Binaman Pressindo.

Mathis, Robert L. dan Jackson, John H., (2002) Manajemen Sumber Daya
Manusia, (terjemahan Jimmi Sadeli dan Bayu Prawira Hie, Jakarta, PT
Salemba 4.Sumber: http://udesukmana.wordpress.com

Senin, 10 Maret 2008

Tentang Kami

Kami mencoba menyajikan web ini untuk saling memberikan informasi tentang bahasa Indonesia dan KBM-nya di SMA.
Untuk itu, kami mengharapkan masukan materi dari para pembaca.