Dalam era otonomi daerah, pengangkatan dan mutasi pejabat kepala sekolah, ada saja yang selalu menghebohkan. Hal ini disebabkan adanya ketidakpuasan dalam pengangkatan kepala sekolah oleh pejabat daerah. Beberapa kasus menunjukkan bahwa guru dan siswa semakin berani protes bahkan menolak untuk melampiaskan uneg-unegnya menyoali pengangkatan dan mutasi Kepala sekolah yang menurut mereka tidak tepat dan tidak prosedural. Kasus-kasus tersebut kepala sekolah diangkat tanpa terlebih mengikuti tes seleksi dan pelatihan calon Kepala sekolah, seperti guru SMP diangkat menjadi Kepala SMA dan SMK, atau guru SMA dan SMK diangkat menjadi Kepala SMP, seperti kepala sekolah menjadi pengawas kemudian kembali lagi menjadi Kepala sekolah, seperti mutasi Kepala sekolah dari sekolah di tengah kota ke sekolah pinggiran dan sebaliknya.
Pergolakan ini seperti ini tentu berpengaruh pada kinerja sekolah. Pergolakan ini sebenarnya bisa dihindari dengan memperhatikan peratuturan yang ada. Peraturan yang bisa mengikat adalah SK Mendiknas no. 167/2004 yang membatasi masa jabatan kepala sekolah (kepsek) hanya empat tahun dan maksimal dua periode (2x4 tahun) dan Permendiknas Nomor 13 Tahun 2007. Dalam peraturan menteri ini, ditetapkan standar penentuan kualifikasi seseorang untuk dapat diangkat sebagai kepala sekolah atau madrasah, antara lain kualifikasi dan kualifikasi khusus.
Salah satu ketentuan dalam peratuan itu adalah bahwa kepala sekolah harus berstatus guru.
Kepala sekolah adalah seorang guru yang atas dasar kompetensinya diberi tugas tambahan mengelola satuan pendidikan. Jadi seorang kepala sekolah itu memang seorang guru, yaitu seorang guru yang dipandang memenuhi syarat tertentu dalam memangku jabatan profesional sebagai pengelola satuan pendidikan. Oleh karena itu, jika ada staf struktural yang kembali diangkat kepala sekolah tentu ini sudah melanggar peraturan, jika ada kepala sekolah yang menganggap dirinya pejabat struktural itu salah, dan jika ada kepala sekolah yang dikembalikan menjadi guru biasa itu juga wajar.
Kepala sekolah merupakan impian dan tujuan bagi sebagian guru. Sehingga banyak yang berlomba-lomba menjadi Kepala sekolah. bahakan memberikan uang, terjun dalam dunia politik pun seorang guru rela demi kedudukannya. Tapi lihatlah efek berikutnya, kepala sekolah menganggap jabatannya adalah jabatan struktural, menganggap jabatannya jabatan politik, menganggap jabatannya mahal. Akhirnya kepala sekolahtidak menyadari bahwa dirinya adalah guru yang diberi tugas tambahan. Kekuasaan bak raja menjadi ciri dalam kepemimpinannya apalagi kepala sekolah memiliki kedekatan pribadi dan kedekatan politik kepada kekuasaan.
Akhirnya setiap kepala sekolah harus dapat menyadari bahwa dirinya adalah guru dan jangan membuat tembok ataupun jarak yang tinggi antara guru dengan dirinya. Oleh karena itu, jika terjadi mutasi kelak, dia bisa legowo dan menyadari kekurangannya sebagai guru yang diberi tugas tambahan
Pergolakan ini seperti ini tentu berpengaruh pada kinerja sekolah. Pergolakan ini sebenarnya bisa dihindari dengan memperhatikan peratuturan yang ada. Peraturan yang bisa mengikat adalah SK Mendiknas no. 167/2004 yang membatasi masa jabatan kepala sekolah (kepsek) hanya empat tahun dan maksimal dua periode (2x4 tahun) dan Permendiknas Nomor 13 Tahun 2007. Dalam peraturan menteri ini, ditetapkan standar penentuan kualifikasi seseorang untuk dapat diangkat sebagai kepala sekolah atau madrasah, antara lain kualifikasi dan kualifikasi khusus.
Salah satu ketentuan dalam peratuan itu adalah bahwa kepala sekolah harus berstatus guru.
Kepala sekolah adalah seorang guru yang atas dasar kompetensinya diberi tugas tambahan mengelola satuan pendidikan. Jadi seorang kepala sekolah itu memang seorang guru, yaitu seorang guru yang dipandang memenuhi syarat tertentu dalam memangku jabatan profesional sebagai pengelola satuan pendidikan. Oleh karena itu, jika ada staf struktural yang kembali diangkat kepala sekolah tentu ini sudah melanggar peraturan, jika ada kepala sekolah yang menganggap dirinya pejabat struktural itu salah, dan jika ada kepala sekolah yang dikembalikan menjadi guru biasa itu juga wajar.
Kepala sekolah merupakan impian dan tujuan bagi sebagian guru. Sehingga banyak yang berlomba-lomba menjadi Kepala sekolah. bahakan memberikan uang, terjun dalam dunia politik pun seorang guru rela demi kedudukannya. Tapi lihatlah efek berikutnya, kepala sekolah menganggap jabatannya adalah jabatan struktural, menganggap jabatannya jabatan politik, menganggap jabatannya mahal. Akhirnya kepala sekolahtidak menyadari bahwa dirinya adalah guru yang diberi tugas tambahan. Kekuasaan bak raja menjadi ciri dalam kepemimpinannya apalagi kepala sekolah memiliki kedekatan pribadi dan kedekatan politik kepada kekuasaan.
Akhirnya setiap kepala sekolah harus dapat menyadari bahwa dirinya adalah guru dan jangan membuat tembok ataupun jarak yang tinggi antara guru dengan dirinya. Oleh karena itu, jika terjadi mutasi kelak, dia bisa legowo dan menyadari kekurangannya sebagai guru yang diberi tugas tambahan