Lustantini Septiningsih (diktip dari laman Badan Bahasa)
Sikap
hidup pragmatis dari sebagian besar masyarakat Indonesia dewasa ini
mengakibatkan terkikisnya nilai luhur budaya bangsa. Demikian pula
budaya kekerasan dan anarkisme sosial turut memperparah kondisi sosial
budaya bangsa Indonesia. Nilai kearifan lokal (local wisdom)
yang santun, ramah, saling menghormati, arif, dan religius seakan
terkikis dan tereduksi gaya hidup instan dan modern. Masyarakat sangat
mudah tersulut emosinya, pemarah, brutal, kasar, dan vulgar tanpa mampu
mengendalikan hawa nafsunya, seperti perilaku para demonstran yang
membakar kendaraan atau rumah, merusak gedung, serta berkata kasar,
dalam berunjuk rasa yang ditayangkan di televisi. Fenomena itu dapat
menjadi representasi melemahnya karakter bangsa ini, yang terkenal
ramah, santun, berpekerti luhur, dan berbudi mulia.
Sebagai bangsa yang beradab dan
bermartabat, situasi yang demikian itu jelas tidak menguntungkan bagi
masa depan bangsa, khususnya dalam melahirkan generasi masa depan
bangsa yang cerdas, bijak, terampil, cendekia, berbudi pekerti luhur,
berderajat mulia, berperadaban tinggi, dan senantiasa berbakti kepada
Tuhan yang Maha Esa. Oleh karena itu, dibutuhkan paradigma pendidikan
kejiwaan yang berorientasi pada karakter bangsa, yang tidak sekadar
memburu kepentingan kognitif (pikir, nalar, dan logika), tetapi juga
memperhatikan dan mengintegrasi persoalan moral dan keluhuran budi
pekerti. Hal itu sejalan dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu fungsi pendidikan adalah
mengembangkan kemampuan dan membangun watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan untuk
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Pendidikan kejiwaan yang berorientasi
pada pembentukan karakter bangsa itu dapat diwujudkan melalui
pengoptimalan peran sastra. Untuk membentuk karakter bangsa ini, sastra
diperlakukan sebagai salah satu media atau sarana pendidikan kejiwaan.
Hal itu cukup beralasan sebab sastra mengandung nilai etika dan moral
yang berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia. Sastra tidak hanya
berbicara tentang diri sendiri (psikologis), tetapi juga berkaitan
dengan Tuhan (religiusitas), alam semesta (romantik), dan juga
masyarakat (sosiologis). Sastra mampu mengungkap banyak hal dari
berbagai segi. Banyak pilihan genre sastra yang dapat dijadikan sarana
atau sumber pembentukan karakter bangsa.
Kamus Besar Bahasa Indonesia
(2008:623) menjelaskan bahwa karakter adalah sifat atau ciri kejiwaan,
akhlak, atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain;
tabiat; watak. Karakter merupakan nilai perilaku manusia yang
berhubungan dengan Tuhan yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia,
lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap,
perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma agama, hukum, tata
krama, budaya, dan adat istiadat. Karakter juga merupakan cara berpikir
dan berperilaku yang menjadi ciri khas setiap individu untuk hidup dan
bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, maupun
negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang mampu
membuat suatu keputusan dan siap mempertanggungjawabkan setiap akibat
dari keputusan yang dibuatnya. Berkaitan dengan karakter, Saryono
(2009:52—186) mengemukakan bahwa genre sastra yang dapat dijadikan
sarana untuk membentuk karakter bangsa, antara lain, genre sastra yang
mengandung nilai atau aspek (1) literer-estetis, (2) humanistis, (3)
etis dan moral, dan (4) religius- sufistis-profetis. Keempat nilai
sastra tersebut dipandang mampu mengoptimalkan peran sastra dalam
pembentukan karakter bangsa.
Genre sastra yang mengandung nilai
literer-estetis adalah genre sastra yang mengandung nilai keindahan,
keelokan, kebagusan, kenikmatan, dan keterpanaan yang dimungkinkan oleh
segala unsur yang terdapat di dalam karya sastra. Dalam idiom estetis
Jawa Kuno, genre sastra yang mengandung nilai literer-estetis disebut kalangwan
(Zoetmulder, 1985). Karya sastra klasik atau karya sastra yang menjadi
sastra kanon (belle lettres) mengandung nilai literer-estetis.
Misalnya, puisi Taufiq Ismail (2008a) yang terkumpul dalam Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 1 Himpunan Puisi 1953—2008
mengandung nilai literer-estetis dengan seperangkat peranti puitis
(diksi, rima, alur, gaya, majas, tema, dan amanat) yang terpadu secara
baik. Dengan nilai literer-estetis yang termuat dalam sastra kanon
tersebut, diharapkan karakter bangsa yang terbentuk adalah insan
Indonesia yang memiliki rasa keindahan, ketampanan, dan keanggunan
dalam berpikir, berkata, dan berperilaku sehari-hari.
Genre sastra yang mengandung nilai
humanistis adalah genre sastra yang mengandung nilai kemanusiaan,
menjunjung harkat dan martabat manusia, serta menggambarkan situasi dan
kondisi manusia dalam menghadapi berbagai masalah. Kisah klasik Ramayana dan Mahabarata,
misalnya, menyajikan berbagai pengalaman hidup manusia, seperti
tragedi, maut, cinta, harapan, loyalitas, kekuasaan, makna dan tujuan
hidup, serta hal yang transendental. Nilai kemanusiaan yang begitu
tinggi dalam karya sastra klasik tersebut sering ditulis ulang
(direproduksi) oleh penulis kemudian. Novel Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata (1983) dan Kitab Omong Kosong karya Seno Gumira Aji Darma (2004) ditulis berdasarkan kisah Ramayana
yang penuh nilai kemanusiaan tersebut. Kehadiran karya sastra semacam
itu diharapkan dapat membentuk kearifan budaya bangsa Indonesia yang
memiliki rasa perikemanusiaan yang adil, beradab, dan bermartabat.
Genre sastra yang mengandung nilai etis
dan moral dalam karya sastra mengacu pada pengalaman manusia dalam
bersikap dan bertindak, melaksanakan yang benar dan yang salah, serta
bagaimana seharusnya kewajiban dan tanggung jawab manusia dilakukan.
Sudah sejak dahulu karya sastra diperlakukan sebagai wahana penyimpan
dan perawat nilai etis dan moral, misalnya Ramayana, Mahabarata, Wulangreh (Pakubuana IV), Wedhatama (Mangkunegara IV), dan Kalatidha (R.Ng. Ranggawarsito),
sudah dianggap sebagai penyimpan dan perawat norma etis dan moral yang
ideal bagi masyarakat. Simpanan dan rawatan norma etis dan moral
tersebut dapat dijadikan wahana pembentukan karakter bangsa yang lebih
mengutamakan etika dan moral dalam bersikap dan bertindak sehari-hari.
Sastra religius-sufistis-profetis
adalah genre sastra yang menyajikan pengalaman spiritual dan
transendental. Genre sastra yang demikian itu telah lama ada sehingga
Mangunwijaya (1982) menyatakan bahwa pada awalnya semua karya sastra
adalah religius. Semua sastra pada awalnya digunakan sebagai sarana
berpikir dan berzikir manusia akan kekuasaan, keagungan, kebijaksanaan,
dan keadilan Tuhan yang Maha Esa. Kerinduan manusia kepada Tuhan,
bahkan hubungan kedekatan manusia dengan Tuhan, telah lama ditulis
dalam karya sastra para sufi, seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin Ar
Raniri, Al Halaj, Amir Hamzah, Abdul Hadi W.M., Sutardji Calzoum
Bachri, dan Danarto. Taufiq Ismail (2008b) dalam bukunya, Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 4 Himpunan Lirik Lagu 1972—2008,
telah menulis ratusan sajak religius-sufistis-profetis, termasuk 23
balada para nabi dan rasul, yang dinyanyikan oleh Bimbo, Haddad Alwi,
Armand Maulana, Gita Gutawa, dan Chrisye. Kehadiran sastra tersebut
dapat membentuk karakter bangsa Indonesia sebagai insan yang religius,
penuh rasa berbakti, beriman, dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa
dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk menjadikan sastra sebagai
pembentukan karakter bangsa, tidak serta-merta hal itu dapat terwujud.
Untuk mengoptimalkan peran sastra tersebut, kemauan apresiator sangat
menentukan keberhasilan. Apabila apresiator tidak memiliki kemauan,
segan membaca dan mengapresiasi karya sastra, bahkan sekadar membaca
dan setelah itu dilupakan, tentu sulit diharapkan sastra mampu secara
optimal berperan membentuk karakter bangsa. Sebaliknya, apabila ada
kemauan yang teguh dari seorang apresiator untuk berapresiasi secara
total dan optimal, setelah sastra dibaca, lalu dipahami maknanya,
dimengerti, dan selanjutnya dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari,
tentu karakter bangsa akan terbentuk sesuai dengan nilai kebajikan yang
termuat dalam sastra. Karakter bangsa yang diharapkan terbentuk adalah
terjalinnya harmoni hubungan manusia dengan Tuhan, alam semesta,
makhluk lain, dan dirinya sendiri.
Daftar PustakaAjidarma, Seno Gumira. 2006. Kitab Omong Kosong. Cetakan Kedua. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Anoegrajekti, Novi et al. (Ed.). 2010. Idiosinkrasi: Pendidikan Karakter Melalui Bahasa dan Sastra. Jakarta-Yogyakarta: UNJ dan Kepel Press.
Damono, Sapardi Djoko. 1999. Politik Ideologi dan Sastra Hibrida. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Darma, Budi. 2004. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikian Nasional.
Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan. Jakarta.
--------. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Keempat. PT Gramedia Pustaka Utama.
Effendi, S. 1982. Bimbingan Apresiasi Puisi. Jakarta: Tangga Mustika Alam.
Ismail, Taufiq. 2008a. Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 1 Himpunan Puisi 1953—2008. Jakarta: Majalah Sastra Horison.
--------. 2008b. Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 4 Himpunan Lirik Lagu 1972—2008. Jakarta: Majalah Sastra Horison.
Mangunwijaya, Y.B. 1982. Sastra dan Religiusitas. Jakarta: Sinar Harapan.
Santosa, Puji. 1996. Pengetahuan dan Apresiasi Sastra dalam Tanya Jawab. Ende-Flores: Nusa Indah.
--------. 2003. Bahtera Kandas di Bukit: Kajian Semiotika Sajak-Sajak Nuh. Surakarta: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Santosa, Puji dkk. 2007. Menulis 2. Jakarta: Universitas Terbuka.
Saryono, Djoko. 2009. Dasar Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Elmatera Publishing.
Sindhunata, 1988. Anak Bajang Menggiring Angin. Jakarta: Kompas.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Terjemahan Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.