Aldon

Samosir

Aldon Samosir

Guru dari Kampoeng

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Rabu, 24 Maret 2010

Budaya Instan, Kejujuran, dan Harapan Perubahan Pola Pikir Terhadap Ujian Nasional 2010


Budaya instan seringkali menggiring pendidikan untuk cenderung dibisniskan. Munculnya berbagai cara yang mengarah pada pelanggaran etika akademik yang dilakukan baik sekolah atau perguruan tinggi untuk memenangkan persaingan dengan cara tidak lagi berorientasi pada kualitas input dan output. Salah satunya terlihat mulai dari maraknya promosi dan iming-iming yang menggiurkan agar banyak pelamar sekolah/PT datang sampai pada praktik yang memudahkan kelulusan siswa/mahasiswa dengan cara merekayasa nilai kelulusan.

Penyimpangan etika akademik akibat budaya instan sudah lazim terjadi pada masalah rutin setiap tahun yaitu Ujian Nasional di sekolah. Kerjasama dalam tanda kutip dilakukan apik baik oleh kepala sekolah, guru, siswa, orangtua, dan oknum masyarakat tertentu yang semuanya turut berperan demi kelulusan ujian nasional. Mulai dari jual beli soal ujian beserta kunci jawaban, tim guru yang mengerjakan soal kemudian memberitahu jawabannya kepada siswa sampai pada maraknya lembaga bimbingan belajar yang berlomba-lomba mencari peserta UAN. Berbagai tawaran variasi cara dan trik mengerjakan lembar jawab pada saat ujian dengan berbagai metode yang cepat dan praktis tanpa berfokus pada bagaimana siswa harus memahami isi soal seluruhnya dan menjawab dengan caranya sendiri. Tentunya hal ini sejalan dengan keinginan siswa untuk lulus ujian, orangtua tak perlu was-was mengkuatirkan kelulusan putra-putrinya, sementara pihak sekolah tak ingin dicap sebagai lembaga yang tidak becus mencetak output siswanya, serta lembaga bimbingan belajar pun ingin tetap survive dalam menjalankan roda bisnis dan menanamkan kepercayaan di benak masyarakat. Namun ada hal penting yang sering diabaikan yaitu bagaimana siswa menjalani proses pencapaian hasil belajar itu sendiri. Hal-hal seperti ini memicu para pemerhati pendidikan yang mengkritik dan mengharap perbaikan. Hadirnya Mendiknas yang baru Muhammad Nuh periode 2009-2014 diharapkan ada upaya terobosan yang jelas terhadap ujian nasional dengan mengedepankan kejujuran dan keobyektifan, jauh dari praktek kecurangan yang dilakukan baik guru dan siswa.

Jumat, 19 Maret 2010

Bagaimana "Novel Cantik Itu Luka' Karya Eka Kurniawan?


Novel Cantik Itu Luka (2004) karya Eka Kurniawan bercerita mengenai keluarga besar Ted Stamler, seorang Belanda yang malang-melintang bekerja sebagai pejabat di akhir masa kolonial Belanda di Halimunda. Tempat itu adalah sebuah kota yang dilukiskan pengarang sebagai tempat menarik, penuh mitos dan begitu penting di ujung masa kolonial.

Tokoh sentral dalam novel ini adalah Dewi Ayu, anak Aneu Stamler atau cucu Ted Stamler. Dewi Ayu adalah anak perkawinan luar nikah dari dua bersaudara lain ibu. Namun kedua orang tua Dewi Ayu, Henri Stamler dan Anue Stamler meninggalkan Dewi Ayu begitu saja di depan pintu rumahnya dan mereka pergi angkat kaki ke negeri Belanda. Inilah awal kisahnya.

Di zaman Jepang sebagian besar penduduk ditangkapi oleh Jepang, terutama yang dianggap pro Belanda, termasuk Dewi Ayu. Ia diasingkan ke sebuah pulau kecil yang seram dan terpencil. Pulau ini, Bloedenkamp, adalah sebuah tempat yang mengerikan dan menjijikkan. Selain dkenal angker, di sana juga tak ada makanan disediakan . Karena itu para tawanan umumnya memakan apa yang ada di sekitar mereka termasuk cacing, ular ataupun tikus. Kekejaman dan kehausan seksual Jepang di Bloedenkamp telah memanggil nurani Dewi Ayu untuk memberikan dirinya kepada seorang tentara Jepang untuk disetubuhi.

Cantik itu Luka
Gramedia Pustaka Utama, 2004
Penerbit Jendela, 2002

Dewi Ayu sendiri, sebagaimana kenyataan di ujung Pemerintahan Kolonial Belanda, berada dalam kesulitan sosial dan ekonomi. Setelah mengalami kegetiran bersama penduduk di Bloedenkamp, Dewi Ayu bersama gadis-gadis lainnya dibawa diam-diam oleh Jepang ke tempat pelacuran Mama Kalong di Halimunda. Mereka dipaksa menjadi pelacur. Mama Kalong adalah germo yang paling terkenal dan profesional di sana. Namun pada masa berikutnya rumah pelacuran Mama Kalong menjadi terkenal dan identik dengan Dewi Ayu, ia menjadi selebriti di kota tersebut. Ketenarannya menyamai nama-nama penguasa di kota tersebut. Bahkan Halimunda sendiri menjadi identik dengan kecantikan pelacur Dewi Ayu.

Dewi Ayu melahirkan empat anak yang tidak dikehendakinya, tiga di antaranya sangat cantik dan diminati banyak lelaki di kota Halimunda. Ketiga putrinya yang cantik itu adalah Alamanda, Adinda dan Maya Dewi. Kecantikan tiga putri itu juga menjadi malapetaka bagi keluarganya sendiri. Karena itu, saat ia hamil pada keempat kalinya, ia berdoa agar anaknya dialahirkan buruk rupa. Sebab kecantikan akan membawa mereka ke dalam petaka. Anaknya yang keempat ini benar lahir dengan menjijikkan namun punya keajaiban, ia diberi nama Cantik. Namun si buruk rupa akhirnya juga terjebak dalam perselingkuhan dengan sepupunya, Krisan.

Alamanda dikawini paksa oleh seorang komandan tentara, Shodanco, setelah diperkosa. Perkwinan itu sungguh tidak dengan rasa cinta, melainkan kebencian yang begitu bergelora. Karena itu 5 tahun perkawinan mereka tak melahirkan anak sebab Alamanda selalu memakai celana besi dan azimat. Dari perkawinan mereka melahirkan anak Nuraini. Adinda menikah dengan Kamerad Kliwon, seorang pemuda genteng, tokoh politik dan terkenal di kota itu. Kamerad Kliwon adalah mantan pacar sejati Alamanda. Perkawinan mereka melahirkan anak Krisan. Maya Dewi menikah dengan seorang tokoh preman dan penguasa terminal, namanya Maman Gendeng. Mereka menikah saat Maya Dewi berumur dua belas tahun tetapi baru disetubuhi saat umur 17 tahun. Kemudian mereka dikaruniai anak, Rengganis Si Cantik.

Si Cantik, anak Dewi Ayu keempat, si bungsu buruk rupa, hidup bersama pembantu yang bisu, Rosina. Ia bercinta-buta dengan Krisan setelah kematian Rengganis Si Cantik. Cantik dan Krisan melahirkan seorang anak yang meninggal sebelum diberi nama. Sebelumnya Krisan juga bercinta buta dengan anak tantenya, Rengganis Si Cantik. Rengganis Si Cantik melahirkan juga seorang anak tak bernama, kemudian diserahkan pada ajak-ajak liar. Krisan membunuh Rengganis Si Cantik di tengah laut untuk menutupi perbuatan zinanya itu. Kinkin adalah anak penggali kuburan yang bisa berhubungan dengan roh orang mati dengan permainan jelangkung. Ia satu kelas dengan Rengganis Si Cantik. Walaupun penampilannya kumal dan pendiam namun diam-diam ia mencintai Rengganis Si Cantik. Ketika Rengganis Si Cantik diketahui hamil dengan isu bahwa seekor anjing telah memperkosanya, ia sangat kecewa.

Kinkin tetap tak percaya bahwa Anjing telah memperkosa Rengganis Si Cantik. Namun ia mau menjadi bapak anak yang dikandung Rengganis tetapi tidak kesampaian. Setelah kematian Rengganis Si Cantik, Kinkin selalu mencari siapa pembunuh orang yang dicintainya itu. Roh Rengganis pun tidak mau mengatakan pembunuh dirinya, sebab ia sangat mencintai orang yang membunuhnya. Akhirnya, lewat susah-payah ia menemukan juga pembunuh Rengganis dari roh yang tidak dikenal. Pembunuhnya adalah Krisan, sepupunya, sekaligus kekasih yang sangat dicintai Rengganis. Setelah itu Kinkin mencari Krisan, dan membunuhnya di rumah Cantik si buruk rupa.
***

Paragraf pembuka novel ini sungguh menakjubkan, kalimatnya lancar dan puitik. Ada jalinan keindahan logika yang teratur. Pengarang memulai cerita dengan sesuatu yang menyentak, membuat pembaca tertarik. Kalimat-kalimat awal membawa pembaca mulai bertyanya-tanya tentang peristiwa apa yang akan terjadi berikutnya. Novel yang terkesan mendekonstruksi dunia sosial-budaya dan pikiran ini sengaja diantarkan oleh pengarang dengan kekacauan suasana pada awal cerita. Kebangkitan Dewi Ayu, seorang pelacur terkenal di Halimunda, membuat orang kampung heboh; orang-orang dan benda-benda tunggang-langgang ketakutan dan takjub. Dewi Ayu meninggal 21 tahun lalu, setelah 12 hari klelahiran Cantik si buruk rupa. Dewi Ayu sendiri mati dengan keanehan; ia sendiri tahu jam kematiannya, sehingga ia memandikan badannya sendiri serta mengkafani dengan kain putih.

Sebagaimana tergambar dalam awal cerita, buku ini ditulis dengan “menunggang-langgangkan” cara berpikir pembaca, mengedepankan dekonstruksi bentuk dan ide. Lembaran pertama dari buku ini sesungguhnya lembaran kehidupan baru, cerita hari ini. Kemudian, halaman 3-10 adalah episode terakhir dari kehidupan Dewi Ayu. Namun lompatan dari “kini” dan masa “lampau” tidak begitu susah bagi pengarang, ia hadir bagai angin menelusup ke jeruji-jeruji besi, atau mengibas ke dalam pakaian dalam kita. Tak terasa, menyegarkan, sehingga pembaca menginginkan bersamanya lebih lama. Pembaca tergoda untuk menelusuri kisahnya. Pengarang tampaknya meniru model penulisan sejarah kritis, mulai dari akibat (masa kini) terus mencari ke sebab dengan menerangkan struktur-struktur sosial-budaya yang ada di dalamnya. Novel ini berada dalam bingkai diakronik, atau prosesual sejarah. Unsur waktu dalam novel ini bergerak dari zaman akhir kolonial, zaman Jepang, pergolakan politik tahun 1960-an dan sesudahnya. Dewi Ayu sendiri adalah keturunan “nyai” zaman kolonial. Putri-putrinya walaupun tidak menjadi pelacur tetapi mengalami tragedi-tragedi seksual dan keperempuanan. Keturunan Dewi Ayu, sebagaimana Dewi Ayu tidak mengalami cinta sebagaimana dikehendaki, cinta mereka penuh hambatan, tantangan dan siksaan. Tragedi cinta itulah yang diolah oleh pengarang, dengan memberinya latar sosio-politik dan kultural yang kuat.

Pengarang tampaknya begitu menguasai alur sejarah Indonesia dari alkhir zaman kolonial sampai pasca tahun 1960-an. Secara baik novel ini bisa memberikan suasana perubahan sejarah politik dari Kolonial Belanda ke Kolonial Jepang, Indonesia merdeka sampai suasana mencekam tahun 1960-an. Pengarang begitu lincah memasuki roh sejarah, suasana pergantian antar rezim itu begitu mengena. Penamaan yang sering didengar zaman Jepang seperti Kempetai, Hinomaru, karaben, senapan steyer, dan istilah struktur dalam ketentaraan Jepang terungkap dalam novel ini secara tepat. Suasana tahun 1960-an terasa menggeliat dengan uraian pengarang tentang gerombolan rakyat bawah seperti nelayan. Kemudian dikemukakan bacaan-bacaan yang tidak asing masa itu seperti, marx, Engles, Lenin, Trotsky, Mao, dan Tan Malaka. Hal-hal yang akrab di telinga tahun 1960-an terbongkar seperti lagu komunis internationale, manifesto sebagai kitab suci, bahan bacaan komunis Harian Rakyat dan Bintang Timur, serta berbagai istilah yang berhubungan dengan revolusi kerakyatan. Pembongkaran dan penguraian suasana kesejarahan itu tentu melalui studi serius, yang telah membawa pengarangnya pada pencapaian wawasan yang begitu luas. Unik dan kelayakan novel ini sungguh bukan karena keberanian pengarang untuk menelanjangi tokoh-tokohnya secara seksual atau dengan mengemukakan seksualitas. Hal yang lebih menarik adalah, boleh dikatakan keseluruhan tokoh memainkan peran yang spesifik dan punya karakter yang kuat. Keberhasilan dan nafas panjang seperti dalam novel ini tentu jarang diraih oleh pengarang-pengarang Indonesia kontemporer, apa lagi generasi setelah 1980-an.

Cantik Itu Luka telah mengalami dua kali cetak dari penerbit yang berbeda. Penerbit pertama adalah AKYPress Yogyakarta sebelum diterbitkan kembali oleh Gramedia Pustaka Utama tahun lalu. Inilah novel pertama Eka Kurniawan sebelum dia menulis Lelaki Harimau.

ULASAN CERPEN " ROBOHNYA SURAU KAMI"


Pernahkah terlintas dalam benak anda, jika anda percaya akan keberadaannya, seperti apakah neraka itu? Orang seperti apa yang masuk ke sana? Kenapa orang masuk ke sana? Ibadah dan agama adalah salah satu bagian utama dari kehidupan bangsa kita Indonesia, jadi sejak kecil istilah surga dan neraka bukanlah hal yang asing bagi telinga kita.

Cerpen yang ditulis tahun 1956 ini sedikit banyak memberikan pandangan akan pertanyaan-pertanyaan tadi, bahkan lebih jauh lagi, menegur kita manusia yang sepertinya lupa hal terpenting dalam beragama tersebut. AA Navis sepertinya melihat kecenderungan yang mengarah pada keadaan ini dan menuangkannya dalam sebuah kisah yang tidak lekang dengan waktu.

Di sebuah desa, ada seorang kakek yang mencurahkan seluruh hidupnya untuk Tuhan. Baginya bukan suatu masalah jika ia tidak berkeluarga, hidup sendiri tanpa istri yang berada di sisinya saat suka dan duka atau keturunan untuk disayangi dan dikasihi. Menyembah dan mewartakan nama Tuhan adalah segalanya dalam hidupnya.

Ini sudah menjadi keputusan si kakek, bukan karena dorongan orang lain atau keadaan yang memaksanya demikian. Baginya memukul beduk mengingatkan orang lain untuk sembahyang, membaca ayat-ayat suci di Kitab dan memuji nama Tuhan jauh lebih penting daripada kekayaan dan rumah yang megah. Intinya, hidupnya hanya berkisar pada Tuhan, termasuk menjaga surau yang ada di desanya tersebut.

Dengan ahli AA Navis, yang bertindak sebagai narator penghubung dalam kisah ini, memunculkan tokoh Ajo Sidi. Keberadaannya di desa itu populer karena dia pintar membuat banyak kisah dengan karakter orang di desa itu menjadi inti ceritanya. Orang mungkin menyebutnya si pembual namun, karena sejak dahulu manusia selalu tertarik dengan kisah-kisah menarik, orang-orang desa tetap mendengarkan bualan Ajo Sidi tersebut. Kali ini yang menjadi tokoh cerita Ajo Sidi adalah karakter yang menggambarkan si kakek penjaga surau.

Dia mengisahkan seorang yang, seperti halnya si kakek, menyerahkan hidupnya untuk Tuhan. Tokoh ini, yang diberi nama Haji Saleh, sangat meyakini bahwa tiada tempat baginya di akhirat selain di surga. Dengan penuh percaya diri dia menunggu gilirannya untuk ikut rombongan yang masuk ke surga sambil mencibir pada mereka yang masuk ke neraka. Inti terpenting dari cerpen ini dibuat dalam bentuk dialog menarik antara manusia percaya diri dengan Tuhan sendiri. Dalam setiap percakapan kita bisa melihat dan merasakan sedikit demi sedikit Haji Saleh mulai kehilangan kepercayaan dirinya padahal apa yang ditanya oleh Tuhan hanyalah apa yang dikerjakannya selama dia hidup.

Haji Saleh dimasukkan ke neraka, bahkan di saat-saat akhir interogasi Tuhan pun dia sudah merasakan hawa panas di tubuhnya. Dia tidak bisa mengerti mengapa dia yang selama hidupnya hidup untuk Tuhan bisa berada di tempat yang seharusnya, menurutnya, untuk orang-orang yang tidak beribadah dan mengenal Tuhan. Dan dia bukan satu-satunya. Merasa bingung dan tidak puas dengan pengaturan tersebut, Haji Saleh dan sekelompok orang yang berpikiran sama pun kembali menghadap Tuhan. Sekali lagi terjalin percakapan menarik dan kali ini Tuhan menjelaskan mengapa bukan surga yang layak untuk mereka tempati.

Keegoisan manusia digambarkan AA Navis sebagai hal yang membuat beberapa orang bernasib bertolak belakang dengan harapan mereka. Tuhan menciptakan manusia untuk bekerja keras di dunia yang dipersiapkannya. Hidup bersama dengan orang lain dan saling membantu layaknya sesama manusia. Sayang ada orang yang menjadikan Tuhan sebagai intisari kehidupan mereka dan tiada hal lain yang penting. Bahkan mungkin saja ada orang yang rajin ibadah bukan karena kepercayaannya namun karena rasa takut masuk ke neraka, jadi dia beribadah lebih dari orang lain supaya bisa masuk ke surga. Mereka lupa inti terpenting dalam kehidupan tersebut yakni beramal di samping beribadat, dan bagaimana bisa beramal ketika mereka tidak mencari nafkah dan malah menelantarkan keluarganya demi kepentingan diri mereka sendiri di akhirat nantinya.

Cerpen ini membuat kita mempertanyakan kembali diri kita sendiri sekaligus berpikir mengapa Tuhan bersikap seperti itu, apa yang sebenarnya salah dalam pemikiran orang-orang seperti si kakek dan Haji Saleh. Ternyata Tuhan memiliki caranya sendiri dan walau kita menggunakan semua rasio yang kita anggap benar, AA Navis mengingatkan kita bahwa tidak demikian adanya.

Bagaimana dengan si kakek? Awalnya dia sangat marah dengan Ajo Sidi. Sama seperti Haji Saleh yang bertanya pada sang malaikat pengiringnya, kakek bertanya pada dirinya sendiri apakah salah menyembah Tuhan seperti yang mereka lakukan itu? Sepertinya si kakek menemukan jawaban dari semua pertanyaannya dan memilih jalan yang paling jelas untuk dilakukan.
RINGKASAN :
Di suatu tempat ada sebuah surau tua yang nyaris ambruk. Hanya karena seseorang yang datang ke sana dengan keikhlasan hatinya dan izin dari masyarakat setempat, surau itu hingga kini masih tegak berdiri. Orang itulah yang merawat dan menjaganya. Kelak orang ini disebut sebagai Garin.
Meskipun orang ini dapat hidup karena sedekah orang lain, tetapi ada yang paling pokok yang membuatnya bisa bertahan, yaitu dia masih mau bekerja sebagai pengasah pisau. Dari pekerjaannya inilah dia dapat mengais rejeki, apakah itu berupa uang, makanan, kue-kue atau rokok.
Kehidupan orang ini agaknya monoton. Dia hanya mengasah pisau, menerima imbalan, membersihkan dan merawat surau, beribadah di surau dan bekerja hanya untuk keperluannya sendiri. Dia tidak ngotot bekerja karena dia hidup sendiri. Hasil kerjanya tidak untuk orang lain, apalagi untuk anak dan istrinya yang tidak pernah terpikirkan.
Suatu ketika datanglah Ajo Sidi untuk berbincang-bincang dengan penjaga surau itu. Lalu, keduanya terlibat perbincangan yang mengasyikan. Akan tetapi, sepulangnya Ajo Sidi, penjaga surau itu murung, sedih, dan kesal. Karena dia merasakan, apa yang diceritakan Ajo Sidi itu sebuah ejekan dan sindiran untuk dirinya.
Dia memang tak pernah mengingat anak dan istrinya tetapi dia pun tak memikirkan hidupnya sendiri sebab dia memang tak ingin kaya atau bikin rumah. Segala kehidupannya lahir batin diserahkannya kepada Tuhannya. Dia tak berusaha mengusahakan orang lain atau membunuh seekor lalat pun. Dia senantiasa bersujud, bersyukur, memuji, dan berdoa kepada Tuhannya. Apakah semua ini yang dikerjakannya semuanya salah dan dibenci Tuhan ? Atau dia ini sama seperti Haji Saleh yang di mata manusia tampak taat tetapi dimata Tuhan dia itu lalai. Akhirnya, kelak ia dimasukkan ke dalam neraka. Penjaga surau itu begitu memikirkan hal ini dengan segala perasaannya. Akhirnya, dia tak kuat memikirkan hal itu. Kemudian dia memilih jalan pintas untuk menjemput kematiannya dengan cara menggorok lehernya dengan pisau cukur.
Kematiannya sungguh mengejutkan masyarakat di sana. Semua orang berusaha mengurus mayatnya dan menguburnya. Kecuali satu orang saja yang tidak begitu peduli atas kematiannya. Dialah Ajo Sidi, yang pada saat semua orang mengantar jenazah penjaga surau dia tetap pergi bekerja.
UNSUR INTRINSIK :
• Tema
Tema cerpen ini adalah seorang kepala keluarga yang lalai menghidupi keluarganya.
• Amanat
Amanat pokok yang terdapat dalam cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis adalah: “Pelihara, jaga, dan jangan bermasabodoh terhadap apa yang kau miliki.” Hal ini dapat dilihat dari beberapa amanat berikut :
(a) Jangan cepat marah kalau ada orang yang mengejek atau menasehati kita karena ada perbuatan kita yang kurang layak di hadapan orang lain
(b) Jangan cepat bangga akan perbuatan baik yang kita lakukan karena hal ini bisa saja baik di hadapan manusia tetapi tetap kurang baik di hadapan Tuhan itu.
(c) Kita jangan terpesona oleh gelar dan nama besar sebab hal itu akan mencelakakan diri pemakainya.
(d) Jangan menyia-nyiakan apa yang kamu miliki, untuk itu cermati sabda Tuhan
(e) Jangan mementingkan diri sendiri, seperti yang disabdakan Tuhan dalam cerpen ini
• Latar
Latar Tempat
Latar tempat yang ada dalam cerpen ini jelas disebutkan oleh pengarangnya, seperti kota, dekat pasar, di surau, dan sebagainya
Latar Waktu
Latar jenis ini, yang terdapat dalam cerpen ini ada yang bersamaan dengan latar tempat, seperti yang sudah dipaparkan di atas pada latar tempat
Latar Sosial
Dari cerpen ini tampak latar sosial berdasarkan usia, pekerjaan, dan kebisaan atau cara hidupnya.
• Alur (plot)
Alur cerpen ini adalah alur mundur karena ceritanya mengisahkan peristiwa yang telah berlalu yaitu sebab-sebab kematian kakek Garin. Sedangkan strukturnya berupa bagian awal, tengah, dan akhir. Adapun alur mundurnya mulai muncul di akhir bagian awal dan berakhir di awal bagian akhir.
• Penokohan
Tokoh dalam cerpen ini ada empat orang, yaitu tokoh Aku, Ajo Sidi, Kakek, dan Haji Soleh.
(a) Tokoh Aku berwatak selalu ingin tahu urusan orang lain.
(b) Ajo Sidi adalah orang yang suka membual
(c) Kakek adalah orang yang egois dan lalai, mudah dipengaruhi dan mempercayai orang lain.
(d) Haji Soleh yaitu orang yang telah mementingkan diri sendiri.
• Konflik
Konflik yang ada adalah konflik batin antara si tokoh dengan Tuhannya dan juga dengan Keluarganya.
• Titik Pengisahan / Sudut Pandang
Titik pengisahan cerpen ini yaitu pengarang berperan sebagai tokoh utama (akuan sertaan) sebab secara langsung pengarang terlibat di dalam cerita. Selain itu pengarang pun berperan sebagai tokoh bawahan ketika si kakek bercerita tentang Haji Soleh di depan tokoh aku.
• Gaya
Di dalam cerpen ini pengarang benar-benar memanfaatkan kata-kata, dan majas alegori, dan sinisme.
UNSUR EKSTRINSIK :
• Judul : Robohnya Surau Kami
• Penulis : Ali Akbar Navis
• Biografi Singkat Penulis :
Ali Akbar Navis atau yang lebih dikenal publik dengan sebutan A.A. Navis lahir di Padang Panjang pada tanggal 17 November 1924.
Navis belajar di INS Kayutanam dari tahun 1932 sampai 1943. Sejak tahun 1968 kembali mengabdi untuk lembaga pendidikan yang didirikan oleh Muhammad Syafei itu. Lebih dari 20 buku sudah dihasilkan olehnya. Mulai dari kumpulan cerpen, puisi, novel, kumpulan esai, hingga penulisan biografi dan otobiografi. Pada tahun 1956, ia menulis kumpulan cerpen Robohnya Surau Kami yang merupakan karya monumental dalam dunia sastra Indonesia. Tiga bukunya yang diterbitkan Gramedia adalah kumpulan cerpen Robohnya Surau Kami, Bertanya Kerbau pada Pedati dan Novel Saraswati.
• Ukuran : 14 x 20 cm
• Tebal : 139 halaman
• Terbit : Januari 1986
• Jilid :
• Edisi Ke :
• Jenis Cover : Soft Cover
• ISBN : 979-403-046-5; 20186046
• Kategori : Fiksi dan Sastra/Bacaan Sastra dan Puisi
• Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, PT.
• Berat Buku : 98 gram
• Dimensi (L x P) : 14 X 20
• Nilai Sosial :
Kita harus sailing membantu jika orang lain dalam kesusahan seperti dala cerpen tersebut karena pada hakekatnya kita adalah makhluk sosial.
• Nilai Moral :
Kita sebagai sesama manusia hendaknya jangan saling mengejek atau menghina orang lain tetapi harus saling menghormati.
• Nilai Agama :
Kita harus selau malakukan kehendak Allah dan jangan melakukan hal yang dilarang oleh-Nya seperti bunuh diri, mencemooh dan berbohong.
• Nilai Pendidkan :
Kita tidak boleh putus asa dalam menghadapi kesulitan tetapi harus selalu berusaha dengan sekuat tenaga dan selalu berdoa.
• Nilai Adat :
Kita harus menjalankan segala perintah Tuhan dan memegang teguh nilai nilai dalam masyarakat.

Karakteristik, Fungsi, dan Latar Belakang Penggunaan Tuturan yang Mengandung Kekeliruan Inferensi Percakapan dalam Novel Belantik (Bagian II)



1. Pemicu Konflik Internal
Tuturan dalam novel Belantik yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang berfungsi sebagai pemicu konflik internal terinci ke dalam empat jenis konflik, yaitu kebimbangan, kekecewaan, keputusasaan, dan kecemburuan.

2.1 Kebimbangan
Konflik internal yang berupa kebimbangan ditandai dengan munculnya sikap bimbang atau ragu-ragu dalam diri seorang tokoh yang dipicu oleh tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang diujarkan oleh tokoh lain.
(28) HANDARBENI : Aneh? Apa yang aneh?
BU LANTING : Begini. Kalau tak salah, saya mendengar Anda pernah memberi kebebasan yang demikian longgar kepada Lasi. Bekisar itu Anda izinkan mencari lelaki lain asal dia tutup mulut dan tetap resmi menjadi istri Anda. Begitu, kan? Kok sekarang Anda kebakaran jenggot ketika Lasi mau dipinjam Bambung?

(Belantik: 10)

Tuturan Bu Lanting pada penggalan teks (28) yang mengandung kekeliruan inferensi berfungsi sebagai pemicu konflik internal berupa perasaan bimbang dalam diri Handarbeni. Setelah penolakan Handarbeni dianggap Bu Lanting sebagai hal yang aneh, Handarbeni mulai dilanda kebimbangan.

2.2 Kekecewaan
Konflik internal yang berupa kekecewaan terekspresi melalui sikap seorang tokoh yang merasa kecewa (kecil hati, tidak senang, atau tidak puas) akibat munculnya tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang diujarkan oleh tokoh lain.
(29) KANJAT :

Ya, masih. Tetapi burung kuntul makin sedikit. Barisannya makin pendek.

LASI :

Tetapi kita juga akan beli mobil yang bagus, telepon, kolam renang, ah, pokoknya apa saja supaya anak kita senang. Dan surau Eyang Mus akan kita bangun menjadi mesjid yang besar…

(Belantik: 126-127)

Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan pada penggalan teks (29) terdapat pada tuturan yang berfungsi sebagai pemicu konflik internal berupa kekecewaan dalam diri Kanjat.

2.3 Keputusasaan
Konflik internal yang berupa keputusasaan terekspresi melalui sikap seorang tokoh yang putus asa (kehilangan harapan/tidak mempunyai harapan lagi) yang tampak dalam dialog antartokoh.
(30) LASI :

Bu, saya kan tidak bisa apa-apa. Kalau Pak Bambung mau datang, saya juga tidak bisa menolak.

BU LANTING :

Jelasnya, Las, kamu mau menerima dia, kan?

LASI :

Karena saya tak bisa menolak, ya mau. Ini rumah Pak Bambung, kan?

(Belantik: 108-110)

Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan pada penggalan teks (30) terdapat pada tuturan Bu Lanting yang berfungsi sebagai pemicu konflik internal berupa keputusasaan dalam diri Lasi. Lasi sudah tidak sanggup lagi melawan tekanan-tekanan yang terus dilakukan oleh Bu Lanting agar Lasi mau menuruti keinginan Bambung.

2.4 Kecemburuan
Konflik internal yang berupa kecemburuan terwujud melalui sikap seorang tokoh yang cemburu, yaitu sikap kurang percaya atau curiga karena adanya sikap iri, yang tampak dalam dialog antartokoh.

(31)
KANJAT :

Ya, aku tahu. Dari koran.

LASI :

Jat, aku makin sering dikira orang Jepang. Anehnya Pak Bambung malah bangga. Jadi aku sering pakai kimono. Yang mendandani aku perempuan Jepang asli.

KANJAT :

Cukup, Las. Aku hanya ingin mendengar cerita ikwal kamu dan kandunganmu!

(Belantik: 122)

Tuturan Lasi pada penggalan teks (31) yang menceritakan bahwa Bambung merasa bangga ketika ia mengenakan kimono merupakan tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan. Tuturan tersebut berfungsi sebagai pemicu konflik internal berupa kecemburuan dalam diri Kanjat.

Latar Belakang Penggunaan Tuturan yang Mengandung Kekeliruan Inferensi Percakapan dalam Novel Belantik

Penggunaan tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan dalam novel Belantik dilatarbelakangi oleh penggambaran karakter tokoh, penyampaian pesan moral, penggambaran ketimpangan sosial, penggambaran kebiasaan tokoh, penggambaran nilai-nilai budaya, penggambaran perbedaan status sosial, dan penggambaran gaya hidup tokoh.

1.1 Penggambaran Karakter Tokoh
Penggambaran karakter tokoh diwujudkan dalam bentuk tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan.
(32) HANDARBENI : Betul! Maka dia adalah bajul buntung? Eh, Bambung? Nah!
BU LANTING : … He-he-he … dia tidak berkutik di bawah ketiak istri pertamanya yang peot dan nyinyir itu. …

(Belantik: 8)

Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi pada penggalan teks (32) terdapat pada tuturan Bu Lanting. Tuturan tersebut digunakan untuk menggambarkan karakter Bambung dengan menggunakan jenis tuturan representatif yang

1.2 Penyampaian Pesan Moral
Penggunaan tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan juga dilatarbelakangi oleh maksud pengarang untuk menyampaikan pesan moral kepada pembaca.
(33) PAK MIN : Ya, Pak.

HANDARBENI : Tetapi orang hidup harus punya ambisi, punya keinginan. Artinya, orang harus mengejar apa yang diinginkan atau yang dicita-citakan. Bila tidak, ya melempem, atau mati sajalah. Orang yang tak punya ambisi, yang nrima terus, tak bisa maju, kan? Mau tahu contohnya?

(Belantik: 17)

Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan pada penggalan teks (33) terdapat pada tuturan Handarbeni. Tuturan tersebut dilatarbelakangi oleh maksud untuk menyampaikan pesan moral kepada pembaca,

1.3 Penggambaran Ketimpangan sosial
Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan bisa dimanfaatkan oleh pengarang untuk menggambarkan ketimpangan sosial yang terjadi pada kelompok masyarakat tertentu.
(34) HANDARBENI :

Ya, Bu Lanting benar. Kamu saya ceraikan. Rumah di Slipi dan isinya boleh kamu miliki. Kamu juga boleh memakai sopirku asal bukan Pak Min. Maafkan aku.

BU LANTING :

…. Dan inilah modelnya orang gedean. Tetapi kamu jangan salahkan Mas Han. Dia memang kehilangan bekisar kesayangannya, ya kamu. Tetapi Mas Han, kata Pak Bambung, akan mendapat kompensasi, eh imbalan, menjadi direktur sebuah perusahaan perkapalan besar. Mungkin juga dia akan jadi menteri. Nah, sudah ngerti? ….

(Belantik: 58-59)

Tuturan Bu Lanting pada penggalan teks (34) yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan dimaksudkan untuk menggambarkan ketimpangan sosial, khususnya yang terjadi di kalangan orang-orang elite.
1.4 Penggambaran Kebiasaan tokoh
Dalam novel Belantik ditemukan adanya penggunaan tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang dilatarbelakangi oleh maksud pengarang untuk menggambarkan kebiasaan tokoh.

(35)
LASI : Jadi Ibu di situ sekarang?

BU LANTING :

Ya! Biasa, Las. Ketika kamu menemani Pak Bambung tadi aku bertemu, anulah, ayam jago bule. Dan aku bilang juga apa, duit memang amat penting. Buktinya, bule yang masih muda itu bisa kubeli. Memang cukup mahal, tetapi tak apa karena aku sudah lama tak makan bule, he-he-he….

(Belantik: 44)

Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan pada penggalan teks (35) terdapat pada tuturan Bu Lanting yang diujarkan melalui jenis tuturan representatif menyatakan. Melalui tuturan tersebut, Bu Lanting bermaksud untuk menyatakan kebiasaannya yang suka berkencan dengan lelaki muda, memandang duit

1.5 Penggambaran Nilai-nilai Budaya
Penggambaran nilai-nilai budaya juga bisa dilakukan oleh pengarang melalui penggunaan tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan.
(36) LASI :

Kalau kamu tidak bohong berarti kita sama-sama orang bebas. Bedanya, kamu masih perjaka, sedangkan aku janda dua kali. Tak tahulah, yang

penting kita sama-sama orang bebas. Ini penting karena rasanya aku ingin ngobrol sama kamu sampai pagi. Mau, kan? Berterus-teranglah, mau atau tidak.

KANJAT :

Mau. Tetapi secukupnya saja, tak perlu sampai pagi. Ah, kamu tak boleh lupa, ini Karangsoga.

(Belantik: 82-83)

Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan pada penggalan teks (36) terdapat pada tuturan Kanjat. Tuturan tersebut dimaksudkan untuk memberikan gambaran nilai-nilai budaya yang masih kuat dianut oleh masyarakat Karangsoga yang menilai tidak etis jika laki-laki dan perempuan yang bukan mukrim dan suami-istri terlibat dalam perbincangan hingga larut pagi.

1.6 Penggambaran Perbedaan Status Sosial
Dalam novel Belantik ditemukan adanya penggambaran perbedaan status sosial yang disamarkan melalui bagian dialog yang terekspresi dalam wujud tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan.
(37) LASI :

Bagaimana, Mak?

MBOK WIRYAJI :

….Namun jujur saja, saya merasa malu terhadap emaknya Kanjat. Soalnya, bagaimanapun keadaannya sekarang, Lasi adalah anak saya, orang miskin. Bapak kandungnya entah di mana. Dan ….

(Belantik: 93)

Tuturan Mbok Wiryaji yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan pada penggalan teks (37) digunakan untuk menggambarkan status sosial antartokoh sehingga pembaca tergugah untuk menumbuhkan sikap empatinya terhadap tokoh yang berstatus sosial lebih rendah.

1.7 Penggambaran Gaya Hidup Tokoh
Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan juga bisa dimanfaatkan oleh pengarang untuk menggambarkan gaya hidup tokoh cerita.
(38) LASI :

Jadi Ibu menyesal mengajak saya kemari?

BU LANTING :

Oalah, Las, aku bukan lagi perawan kencur. Aku perempuan tua yang amat cukup pengalaman. Dan tahu adat lelaki. Jadi nanti, bila ternyata Pak Bambung suka sama kamu, ya sudah. Aku tak perlu merasa rugi. Betul! Toh aku sudah dapat uangnya. Pulang dari sini, lihatlah, aku akan beli Mercy model terbaru. Dengan mobil itu si Kacamata pasti mau kubawa ke mana-mana. Apa lagi?

(Belantik: 38-39)

Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan pada penggalan teks (38) terdapat pada tuturan Bu Lanting yang digunakan untuk menggambarkan gaya hidup tokoh. Cara penggambaran gaya hidup tokoh cerita semacam itu bisa menimbulkan efek emosional tertentu kepada pembaca, yaitu efek antipati terhadap tokoh Bu Lanting yang memiliki gaya hidup glamor dan suka memanjakan nafsu libidonya.

Simpulan
Karakteristik tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan dipilah ke dalam empat kelompok atas dasar: situasi tutur, jenis tuturan, pelanggaran prinsip kerja sama, dan pelanggaran prinsip kesantunan. Berdasarkan situasi tutur, tuturan tersebut memiliki karakteristik berupa tuturan bernada: sinis, memuji, membujuk, mengancam, memaksa, sombong, menyindir, merendahkan harga diri pihak lain, umpatan, rendah hati, kurang percaya diri, vulger. Berdasarkan jenisnya, tuturan tersebut memiliki karakteristik berupa tuturan: ilokusi, perlokusi, representatif, direktif, ekspresif, komisif, deklaratif, taklangsung, dan takharfiah. Berdasarkan pelanggaran prinsip kerja sama, tuturan tersebut memiliki karakteristik melanggar bidal: kuantitas, kualitas, relevansi, dan cara. Berdasarkan pelanggaran prinsip kesantunan, tuturan tersebut memiliki karakteristik melanggar bidal: ketimbangrasaan, kemurahhatian, keperkenanan, kerendahhatian, kesetujuan, dan kesimpatian.

Fungsi tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan adalah sebagai: pemicu konflik eksternal dan pemicu konflik internal. Fungsi sebagai pemicu konflik eksternal mencakupi konflik yang berupa: percekcokan, penindasan, pemaksaan, dan pelecehan status sosial. Fungsi sebagai pemicu konflik internal mencakupi konflik yang berupa: kebimbangan, kekecewaan, keputusasaan, dan kecemburuan.

Hal-hal yang melatarbelakangi penggunaan tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan adalah: penggambaran karakter tokoh, penyampaian pesan moral, penggambaran ketimpangan sosial, penggambaran kebiasaan tokoh, penggambaran nilai-nilai budaya, penggambaran perbedaan status sosial, dan penggambaran gaya hidup tokoh.

Berdasarkan hasil penelitian, tuturan dalam teks novel yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan bisa membuat teks novel lebih memiliki daya tarik. Hal ini bisa menjadi pembuka jalan terhadap penelitian teks novel dari sudut pandang pragmatik yang lain, misalnya, karakteristik, fungsi, dan latar belakang penggunaan tuturan yang mengandung implikatur percakapan dalam teks novel. Selain itu, para calon pengarang novel bisa memanfaatkan hasil penelitian ini dalam menciptakan teks novel, khususnya dalam menciptakan konflik melalui dialog antartokoh. *** (habis)

Daftar Pustaka

Abrams, M.H. 1953. The Mirror an the Lamp: Romantic Theory and the Critical Tradition. New York: Holt, Rinehart, and Winston.

Alwi, Hasan (ed.). 1998. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Aminuddin. 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru.

————– 1995. Stilistika: Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra. Semarang: IKIP Semarang Press.

Atmazaki. 1995. Ilmu Sastra: Teori dan Terapan. Bandung: Angkasa.

Bates, Elizabeth. 1976. Language and Context: The Acquisition of Pragmatics. London: Academic Press Inc.

Budiyati, Lucia Maria. 2001. Kevariasian Tindak Tutur Percakapan Tokoh Utama Wanita dalam Novel-novel Karya Pengarang Wanita (Tesis PPs Unnes).

Faruk. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Fraser, Bruce. 1978. “Acquiring Social Competence in a Second Language” dalam RELC Journal Volume 9, Nomor 2, Desember 1978.

Gazdar, Gerald. 1979. Pragmatics: Implicature, Presupposition, and Logical Form. New York: Academic Press.

Grice, H. Paul. 1975. “Logic and Conversation” dalam Cole, Peter dan J. Morgan (ed.). Syntax and Semantics: Speech Acts. New York: Oxford University Press.

—————– 1991. “Logic and Conversation” dalam Davis S. (ed.). Pragmatics: A Reader. New York: Oxford University Press.

Gumperz, John J. 1982. Discourse Analysis. New York: Cambridge University Press.

Gunarwan, Asim. 1994. “Pragmatik: Pandangan Mata Burung” dalam Soenjono Dardjowidjojo (ed.) Mengiring Rekan Sejati: Festschrift buat Pak Ton. Jakarta: Unika Atmajaya.

——————– 1992. “Kesantunan Negatif di Kalangan Dwibahasawan Indonesia-Jawa di Jakarta: Kajian Sosiopragmatik”. Makalah pada Pelba VII, Jakarta 26-27 Oktober 1992.

Hamzah, Adjib. 1985. Pengantar Bermain Drama. Bandung: Rosda.

Ibrahim, Abdul Syukur. 1992. Kajian Tindak Tutur. Surabaya: Usaha Nasional.

Junus, Umar. 1989. Stilistik: Suatu Pengantar. Kualalumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Kimball, John L. 1975. Syntax and Semantics, Speech Act. New York: Academic Press.

Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.

Leech, Geoffrey N. 1983. Principles of Pragmatics. New York: Longman Inc.

———————- 1983. Prinsip-prinsip Pragmatik. Terjemahan M.D.D. Oka. Jakarta: UI Press.

Lubis, Hamid Hasan. 1993. Analisis Wacana Pragmatik. Bandung: Angkasa.

Mey, Jacob L. 1993. Pragmatics: an Introduction. Oxford UK & Cambridge USA: Blackwell.

Nababan, P.W.J. 1987. Ilmu Pragmatik (Teori dan Penerapannya). Jakarta: Depdikbud.

Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajahmada University Press.

Oemarjati, Boen S. 1984. Chairil Anwar: The Poet and His Language. Gravenhage: Martinus Nijhof.

Pradopo, Rachmat Djoko. 1987. Pengkajian Puisi. Ygyakarta: Gajah Mada University Press.

———————————– 1999. Penelitian Stilistika Genetik: Kasus Gaya Bahasa W.S. Rendra dalam Ballada Orang-orang Tercinta dan Blues untuk Bonnie. Humaniora No. 12 September-Desember 1999. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Purwo, Bambang Kaswanti (ed.). 1984. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa: Menyibak Kurikulum 1984. Yogyakarta:Kanisius.

Richard, Jack C. 1995. On Conversation. Terjemahan Ismari. Surabaya: Airlangga University Press.

Rustono. 1999. Pokok-pokok Pragmatik. Semarang: C.V. IKIP Semarang Press.

Schiffrin, Deborah. 1994. Approach to Discourse. Cambridge: Blackwell Plubishers.

Searle, John R. 1969. Speech Act: an Essay in The Philosophy of Language. Cambridge: Cambridge University Press.

Sperber, Dan dan Deirde Wilson. 1986. Relevance: Communication and Cognition. Oxford UK & Cambridge USA: Blackwell Publishers Inc.

Stubbs, Michael. 1983. Discourse Analysis: The Sociolinguistics Analysis of Natural Language. Oxford: Basil Blackwell.

Subroto, Edi D. 1999. Telaah Stilistika Novel Berbahasa Jawa Tahun 1980-an. Jakarta: Depdikbud.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisa Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Sudjiman, Panuti. 1993. Bunga Rampai Stilistika. Jakarta:Grafiti.

Sumardjo, Yakob. 1984. Memahami Kesusastraan. Bandung: Alumni.

Supriyanto, Teguh. 1997. Gaya Bahasa Novel Bekisar Merah. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Teeuw, A. 1980. Tergantung pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya.

Tohari, Ahmad. 2001. Belantik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Tresnati, Tjetje. 2001. Fungsi Pertanyaan Tuturan Wanita dalam Novel Karmila Karya Marga T. (Tesis PPs Unnes).

Wahono. 2001. Peranan Dialog dan Pelanggaran serta Pematuhan Prinsip Pragmatik dalam Membangun Konflik pada Teks Drama (Tesis PPs Unnes).

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.

Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi.

Yudiono K.S. 2003. Ahmad Tohari: Karya dan Dunianya. Jakarta: PT Grasindo.

Karakteristik, Fungsi, dan Latar Belakang Penggunaan Tuturan yang Mengandung Kekeliruan Inferensi Percakapan dalam Novel Belantik (Bagian I)



Salah satu novel karya Ahmad Tohari yang cukup penting ialah Belantik (2001) yang diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama. Persoalan menarik yang terdapat dalam novel Belantik adalah penggunaan tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan dalam dialog antartokoh. Berkaitan dengan hal tersebut, perlu dilakukan kajian mendalam ikwal karakteristik, fungsi, dan latar belakang penggunaan tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan.

Masalah yang dikaji adalah: (a) apa sajakah karakteristik tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan dalam novel Belantik; (b) apa sajakah fungsinya; dan (c) hal-hal apa sajakah yang melatarbelakangi penggunaan tuturan tersebut. Tujuan penelitian adalah: (a) mengidentifikasi karakteristik tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan; (b) mengidentifikasi fungsi tuturan tersebut; dan (c) memaparkan latar belakang penggunaan tuturan tersebut. Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya stilistika dari sudut pandang pragmatik dan menambah khazanah pustaka karya ilmiah di bidang pragmatik. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi pembuka jalan terhadap penelitian teks novel dari sudut pandang pragmatik yang lain, misalnya, karakteristik, fungsi, dan latar belakang penggunaan tuturan yang mengandung implikatur percakapan. Selain itu, para calon pengarang novel bisa memanfaatkan hasil penelitian ini dalam menciptakan teks novel, khususnya dalam menciptakan konflik melalui dialog antartokoh.

Ada dua teori yang digunakan, yaitu teori novel dan teori pragmatik. Pendekatan yang digunakan ialah pendekatan stilistika (monisme) dan pragmatik. Pendekatan monisme digunakan untuk mengkaji fungsi dan latar belakang penggunaan tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan, sedangkan pendekatan pragmatik digunakan untuk mengkaji karakteristik tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan.

Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data penelitian adalah metode telaah isi. Untuk memperoleh data yang benar-benar valid dilakukan validasi data, yaitu memilih data yang benar-benar sesuai dengan kriteria. Data yang telah dipilah-pilah dianalisis dengan menggunakan metode normatif, yaitu metode yang penggunaannya didasarkan pada fakta yang ada.

Data penelitian berupa penggalan teks yang berisi tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan sesuai dengan kriteria. Data penelitian ditafsirkan dengan menggunakan analisis monisme dan analisis pragmatik. Berdasarkan hasil penafsiran, hasil penelitian disimpulkan dengan metode generalisasi untuk mengidentifikasi karakteristik, fungsi, dan latar belakang penggunaan tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan, serta memaparkan latar belakang penggunaan tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan dalam novel Belantik.

Karakteristik Tuturan yang Mengandung Kekeliruan Inferensi Percakapan dalam Novel Belantik

Karakteristik tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan dipilah ke dalam empat kelompok berdasarkan: (1) situasi tutur; (2) jenis tuturan; (3) pelanggaran prinsip kerja sama; dan (4) pelanggaran prinsip kesantunan.

1. Berdasarkan Situasi Tutur
Berdasarkan situasi tutur, tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan memiliki karakteristik berupa tuturan bernada: sinis, memuji, membujuk, mengancam, memaksa, sombong, menyindir, merendahkan harga diri pihak lain, umpatan, rendah hati, kurang percaya diri, dan vulger.

1.1 Tuturan Bernada Sinis
Tuturan bernada sinis adalah tuturan yang bersifat mengejek atau memandang rendah pihak lain tanpa melihat sisi kebaikan apa pun dan meragukan sifat baik yang dimiliki pihak lain.
(1) HANDARBENI : Sudah, Mbakyu. Aku memang sudah mengatakan Lasi istriku. Sah. Tetapi Bambung tetap ngotot. …
BU LANTING : … Dan bukan rahasia lagi, Anda pun biasa ngiler bila melihat perempuan cantik, tak peduli dia istri orang. Iya, kan? Nah, dari soal menggampangkan perempuan, kini Anda digampangkan orang dalam urusan yang sama. Tak aneh, ya?

(Belantik: 9)

Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan bernada sinis pada penggalan teks (1) terdapat pada tuturan Bu Lanting. Tuturan tersebut bertujuan untuk memengaruhi Handarbeni agar mau “meminjamkan” Lasi kepada Bambung.
1.2 Tuturan Bernada Memuji
Tuturan bernada memuji adalah tuturan yang isinya berupa pernyataan rasa pengakuan atau penghargaan terhadap kelebihan pihak lain.

(2)
LASI :

Sama saja, Bu. Jadi kalau Pak Bambung mau datang kemari, ya datanglah.

BU LANTING :

Aduh, kamu memang anak manis, Las. Ya, apa salahnya menjadi pendamping orang gedean seperti Pak Bambung. …

(Belantik: 108-110)

Tuturan Bu Lanting pada penggalan teks (2) mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan bernada memuji. Dalam percakapan tersebut, Lasi memilih sikap mengalah dengan berpura-pura mau menerima kehadiran Bambung. Namun, sikap Lasi ditafsirkan secara keliru oleh Bu Lanting yang terus berusaha memengaruhi Lasi agar mau menuruti keinginan Bambung. sehingga melahirkan tuturan sebagai produk tindak verbal yang bernada memuji.
1.3 Tuturan Bernada Membujuk
Tuturan bernada membujuk merupakan tuturan yang mengacu pada maksud ujaran untuk meyakinkan pihak lain dengan kata-kata yang manis bahwa apa yang dikatakan itu benar.
(3) LASI :

Pokoknya nekat. Ibu sudah tahu bila orang sudah nekat.

BU LANTING :

Las, dokter bisa menggugurkan kandunganmu tanpa kamu harus merasakannya. Paling-paling kamu disuruh mengisap sesuatu dengan hidung, lalu tidur. Begitu kamu bangun dokter sudah selesai. Atau malah lebih mudah dari itu. Karena kandunganmu masih sangat muda, siapa tahu penggugurannya cukup dengan menelan obat. Nah, gampang sekali, kan?

(Belantik: 117)

Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan pada penggalan teks (3) terdapat pada tuturan Bu Lanting. Tuturan tersebut bertujuan untuk membujuk Lasi agar mau menggugurkan kandungannya sehingga melahirkan tuturan sebagai produk tindak verbal yang bernada membujuk.
1.4 Tuturan Bernada Mengancam
Tuturan bernada mengancam adalah tuturan yang menyatakan maksud (niat, rencana) untuk melakukan sesuatu yang merugikan, menyulitkan, menyusahkan, atau mencelakakan pihak lain.
(4) LASI :

Sebentar, Bu. Kalau saya tak mau bagaimana? Atau, bagaimana bila kalung itu saya kembalikan?

BU LANTING :

E, jangan berani main-main dengan Pak Bambung. Dengar, Las. Dua-duanya tak mungkin kamu lakukan. Pak Bambung sangat keras. Kalau dia punya mau harus terlaksana. Dan kalau kamu mengembalikan kalung itu, dia akan menganggap kamu menghinanya….

(Belantik: 61-62)

Tuturan Bu Lanting pada penggalan teks (4) mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan bernada mengancam. Dalam percakapan tersebut, Lasi bersikukuh untuk tidak mau melayani permintaan Bambung. Namun, pernyataan Lasi ditafsirkan secara keliru oleh Bu Lanting sehingga melahirkan tuturan sebagai produk tindak verbal yang tuturan bernada mengancam.
1.5 Tuturan Bernada Memaksa
Tuturan bernada memaksa adalah tuturan yang mengacu pada maksud ujaran yang mengharuskan pihak lain untuk melakukan suatu tindakan walaupun pihak lain tidak mau melakukannya.
(5) BU LANTING :

Ya. bila benar kamu hamil, dia memang menghendaki kandunganmu digugurkan.

LASI :

Tidak bisa, Bu. Saya tidak mau.

BU LANTING :

Ah, apa iya? Bagaimana kalau kamu dipaksa?

(Belantik: 116-117)

Tuturan Bu Lanting pada penggalan teks (5) mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan bernada memaksa. Dengan berbagai cara, Bu Lanting memaksa Lasi agar mau menggugurkan kandungannya.
1.6 Tuturan Bernada Sombong
Tuturan bernada sombong merupakan tuturan yang mengacu pada maksud ujaran untuk menghargai diri sendiri secara berlebihan (congkak).
(6) PAK MIN : Jadi, Bapak juga percaya keutamaan pitutur kejawen?

HANDARBENI : Lho, Pak Min bagaimana? Sudah dibilang saya ini dari ujung kaki sampai ujung rambut tetap priyayi Jawa. Jadi saya percaya semua pitutur kejawen. Percaya betul. Tetapi, Pak Min, seorang priyayi yang percaya terhadap pitutur itu tidak harus menjalankannya, bukan?

(Belantik: 18)

Tuturan Handarbeni mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan bernada sombong. Dalam percakapan itu, Pak Min diminta Handarbeni untuk menguraikan makna pitutur kejawen. Namun, pernyataan Pak Min justru direspons Handarbeni secara keliru sehingga melahirkan tuturan bernada sombong.
1.7 Tuturan Bernada Menyindir
Tuturan bernada menyindir adalah tuturan yang mengacu pada maksud ujaran untuk mencela atau mengejek pihak lain secara tidak langsung atau tidak terus terang.
(7) PAK MIN : Ya, Pak.

HANDARBENI : Tetapi orang hidup harus punya ambisi, punya keinginan. Artinya, orang harus mengejar apa yang diinginkan atau yang dicita-citakan. Bila tidak, ya melempem, atau mati sajalah. Orang yang tak punya ambisi, yang nrima terus, tak bisa maju, kan? Mau tahu contohnya?

(Belantik: 17)

Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan bernada menyindir pada penggalan teks (7) terdapat dalam tuturan Handarbeni. Dalam percakapan itu, Pak Min diminta untuk menguraikan makna pitutur kejawen. Namun, pernyataan Pak justru direspons Handarbeni secara keliru sehingga melahirkan tuturan bernada menyindir.
1.8 Tuturan Bernada Merendahkan Harga Diri Pihak Lain
Tuturan bernada merendahkan harga diri pihak lain merupakan tuturan yang mengacu pada maksud ujaran yang menganggap diri sendiri sebagai orang yang bermartabat dan terhormat, sedangkan pihak lain dianggap kurang bermartabat dan terhormat.

(8)
PAK MIN : Ya, Pak.

HANDARBENI : Contohnya, ya Pak Min sendiri. Dulu ayah Pak Min jadi pembantu di rumah orangtua saya. Sekarang Pak Min hanya jadi sopir saya. Nanti anak Pak Min jadi sopir atau pembantu anak saya?

(Belantik: 17)

Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan bernada merendahkan harga diri pihak lain pada penggalan teks (8) terdapat pada tuturan Handarbeni. Kekeliruan inferensi tersebut dinyatakan dalam tuturan bernada merendahkan harga diri pihak lain, yaitu merendahkan harga diri keluarga Pak Min yang dicontohkan sebagai orang yang tidak mempunyai ambisi dan keinginan.
1.9 Tuturan Bernada Umpatan
Tuturan bernada umpatan merupakan tuturan yang mengandung perkataan keji atau kotor, cercaan, atau makian, yang terekspresi karena perasaan marah, jengkel, atau kecewa.

(9)
BU LANTING :

Apa? Hamil? Lasi hamil? Ah, dia tak bilang apa-apa sama saya? Jadi mana saya tahu?

PAK BAMBUNG :

Brengsek! Dengar ini! Aku tidak suka perempuan bunting. Tidak doyan! ….

(Belantik: 115)

Tuturan Bambung pada penggalan teks (9) mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan bernada umpatan. Dalam percakapan tersebut, Bu Lanting terkejut setelah diberitahu kalau Lasi hamil. Namun, keterkejutan Bu Lanting dipahami secara keliru oleh Bambung melalui pernyataan yang bernada umpatan.
1.10 Tuturan Bernada Rendah Hati
Tuturan bernada rendah hati merupakan tuturan yang mengacu pada maksud ujaran untuk menyatakan sikap rendah hati, tidak sombong, atau tidak angkuh.
(10) HANDARBENI : Nguawur! Tadi saya bertanya mengapa hidup yang empuk, angler nguler kambang bisa tiba-tiba berubah jadi panas dan memusingkan kepala?

PAK MIN : Oh, itu, Pak, yang begitu kok Bapak tanyakan kepada saya; mana bisa saya menjawabnya?

(Belantik: 15-16)

Tuturan Pak Min pada penggalan teks (10) mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan bernada rendah hati. Kekeliruan inferensi itu terjadi ketika Pak Min merespons pernyataan mitra tuturnya, Handarbeni, yang memintanya untuk menjawab pertanyaan Handarbeni. Pertanyaan itu dijawab secara keliru oleh Pak Min melalui tuturan yang bernada rendah hati.
1.11 Tuturan Bernada Kurang Percaya Diri
Tuturan bernada kurang percaya diri merupakan tuturan yang menyatakan sikap kurang yakin terhadap kebenaran, kemampuan, atau kelebihan diri sendiri.
(11) KANJAT :

Mungkin, dirjen; direktur jenderal.

LASI :

Pokoknya begitulah. Kata Bu Lanting lagi, orang yang ingin menang di pengadilan juga bisa minta rek…rek…rek… apa?

KANJAT :

Rekomendasi.

(Belantik: 125-126)

Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi yang memiliki karakteristik berupa tuturan bernada kurang percaya diri pada penggalan teks (11) terdapat pada tuturan Lasi. Tuturan yang diujarkan Lasi bermodus introgatif sebagai ekspresi sikap kurang percaya diri akibat tingkat pendidikannya yang rendah.
1.12 Tuturan Bernada Vulger
Tuturan bernada vulger adalah tuturan yang mengandung kata-kata kasar sebagai ekspresi kemarahan, kejengkelan, atau kekecewaan yang ditujukan kepada pihak lain.

(12)
BU LANTING :

Apa? Hamil? Lasi hamil? Ah, dia tak bilang apa-apa sama saya? Jadi mana saya tahu?

PAK BAMBUNG :

Brengsek! Dengar ini! Aku tidak suka perempuan bunting. Tidak doyan! Tahu? Ingin mengerti sebabnya?

(Belantik: 115)

Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan bernada vulger pada penggalan teks (12) terdapat pada tuturan Bambung. Dalam percakapan tersebut, Bu Lanting menunjukkan sikap keterkejutannya dengan menggunakan tuturan bermodus introgatif karena dia memang belum mengetahui kalau Lasi hamil. Namun, keterkejutan Bu Lanting justru direspons secara negatif oleh Bambung dengan mengucapkan kata-kata bernada vulger.
2. Berdasarkan Jenis Tuturan
Berdasarkan jenisnya, tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan dalam novel Belantik memiliki karakteristik berupa tuturan: ilokusi, perlokusi, representatif, direktif, ekspresif, komisif, isbati, taklangsung, dan takharfiah.
2.1 Tuturan Ilokusi
Tuturan ilokusi adalah tuturan yang mengandung maksud, fungsi, dan daya tuturan tertentu.
(13) LASI :

Baik, Bu.
BU LANTING :

Anu, Las. Lebih baik kamu bawa pakaian. Soalnya kalau lelah, mungkin kita harus menginap.

(Belantik: 26)

Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan ilokusi pada penggalan teks (13) terdapat pada tuturan Bu Lanting. Permintaan Bu Lanting agar Lasi membawa pakaian karena kalau lelah kemungkinan harus menginap terkandung maksud, fungsi, dan daya tuturan tertentu, yaitu Lasi hendak dipertemukan dengan Bambung.
2.2 Tuturan Perlokusi
Tuturan perlokusi merupakan jenis tuturan yang mengacu kepada efek yang dihasilkan dengan mengujarkan sesuatu.
(14) HANDARBENI : Sebentar, Mbakyu. Rasanya tak enak menyerah begitu saja kepada momok itu. Lagi pula, betapapun lobinya sangat kuat, dia toh sebenarnya bukan atasanku. Bagaimana menurut Mbakyu?
BU LANTING : Pak Han, Anda ini bagaimana? Kok Anda jadi bodoh begitu? Apa Anda nggak ngerti, sebenarnya Bambung bahkan sudah tak punya jabatan resmi lagi? Tetapi Anda harus ingat, baik punya jabatan resmi atau tidak, yang pasti dia tetap Bambung. Jaringan lobinya tetap kukuh dan canggih. Dia memang hebat. Bahkan dahsyat. Dan ikwal hal ini saya tahu betul. Dengan kekuatan seperti itu lobi Bang Bajul ini pasti akan mampu menembus birokrasi di atas Anda dengan mudah. …

(Belantik: 9-10)

Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan perlokusi pada penggalan teks (14) terdapat pada tuturan Bu Lanting. Tuturan tersebut bisa memberikan efek ketakutan kepada Handarbeni sehingga bisa dikatakan mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan perlokusi.
2.3 Tuturan Representatif
Tuturan representatif (asertif) adalah tuturan yang mengikat penuturnya akan kebenaran atas apa yang diujarkannya.

(15)
LASI :

Pak sopir, saya tak jadi ke Cikini.

SOPIR TAKSI :

Daripada pergi tanpa tujuan, Bu, apa tidak baik kita nonton saja? Sekarang filmnya bagus. Bagaimana?

(Belantik: 64-65)

Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan representatif pada penggalan teks (15) terdapat pada tuturan sopir taksi karena mengacu pada maksud tuturan untuk menyatakan keinginannya kepada mitra tutur.


2.4 Tuturan Direktif
Tuturan direktif atau impositif merupakan tuturan yang mengacu pada maksud ujaran agar mitra tutur melakukan tindakan seperti yang disebutkan dalam tuturan.

(16)
LASI : Jadi Ibu di situ sekarang?

BU LANTING :

… Tolong deh urus dia. Kalau perlu turuti apa maunya, toh kamu tidak akan rugi. Betul deh!

(Belantik: 44)

Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan pada penggalan teks (16) terdapat pada tuturan Bu Lanting karena mengacu pada maksud ujaran agar mitra tuturnya, Lasi, melakukan tindakan seperti yang disebutkan dalam tuturan, yaitu menyuruh Lasi agar mengurus Bambung.
2.5 Tuturan Ekspresif
Tuturan ekspresif adalah tuturan yang mengacu pada maksud tuturan untuk menyatakan penilaian.

(17)
BU LANTING :

Lain, Las, lain, karena kamu muda dan sangat, sangat pantas, hadir di tengah perempuan cantik lainnya. Duta Besar dan istrinya pasti akan tahu kamu memang bukan istri Pak Bambung. Tetapi mereka mau apa, sebab kamu adalah yang tercantik di antara semua perempuan yang pernah digandeng Pak Bambung. …

LASI :

Anu Bu… tetapi, Bu… saya tidak membawa pakaian yang pantas. Saya ….

(Belantik: 35-36)

Pujian Bu Lanting pada penggalan teks (17) merupakan kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan ekspresif karena mengacu pada maksud ujaran untuk memuji mitra tuturnya agar mau memenuhi permintaan seperti yang disebutkan di dalam tuturan.
2.6 Tuturan Komisif
Tuturan komisif merupakan tuturan yang mengacu pada maksud tuturan untuk mengikat penuturnya melakukan tindakan seperti yang disebutkan di dalam tuturan.

(18)
LASI :

Jangan, Pak. Jangan! Saya tidak siap. Saya tidak mau.

BAMBUNG :

… Las, kalau kamu menurut nanti kamu saya lelo-lelo, saya emban, saya pondhong. Bila menurut nanti kamu bisa minta apa saja atau ingin jadi apa saja. Apa kamu ingin jadi… komisaris bank? Atau anggota



parlemen? Ya, mengapa tidak? Kalau mau, nanti saya yang akan ngatur, maka semuanya pasti beres ….

(Belantik: 53)

Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan komisif pada penggalan teks (18) terdapat pada tuturan Bambung karena tuturan tersebut mengacu pada maksud ujaran yang memberikan janji kepada mitra tuturnya, Lasi, yaitu mau menuruti semua permintaan Lasi dengan syarat Lasi juga bersedia menuruti semua keinginannya.
2.7 Tuturan Isbati
Tuturan isbati adalah tuturan yang diacu oleh maksud tuturan yang di dalam pemakaiannya untuk menyatakan hal (status, keadaan, dan sebagainya) yang baru.
(19) BU LANTING : Lho, Pak Han, daripada Anda kehilangan jabatan dan karier politik? Sudah saya bilang, soal bekisar, Anda bisa mencari yang baru. Jangan khawatir, nanti saya bantu. Mau yang rambon Cina, Arab,

Spanyol, atau Yahudi? Atau malah rambon Cina-Irian? Yang terakhir ini lagi mode lho.
HANDARBENI : …. Urus saja Lasi dan aturlah kencannya dengan si sialan itu. Selanjutnya aku tak mau tahu lagi. …

(Belantik: 12)

Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi yang memiliki karakteristik berupa tuturan isbati pada penggalan teks (19) terdapat dalam tuturan Handarbeni karena ujaran tersebut mengacu pada maksud tuturan untuk memutuskan sesuatu. Keputusan tersebut dinyatakan kepada mitra tuturnya, Bu Lanting, yaitu Handarbeni memutuskan untuk menyerahkan Lasi kepada Bambung dan meminta Bu Lanting untuk mengurusnya.
2.8 Tuturan Taklangsung
Tuturan taklangsung merupakan tuturan isbati yang digunakan untuk bertanya, memerintah, atau tuturan yang bermodus lain yang digunakan secara tidak konvensional.
(20) HANDARBENI : Betul! Maka dia adalah bajul buntung? Eh, Bambung? Nah!
BU LANTING : …. Namun di rumah? He-he-he … dia tidak berkutik di bawah ketiak istri pertamanya yang peot dan nyinyir itu. Lalu mengapa Anda heboh? Belum mengerti atau pura-pura tidak mengerti kebajulannya? …

(Belantik: 8)

Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi yang memiliki karakteristik berupa tuturan taklangsung pada penggalan teks (20)terdapat pada tuturan Bu Lanting karena penutur melakukan kekeliruan dalam menafsirkan maksud tuturan mitra tuturnya dengan menggunakan tuturan bermodus ekspresif dan direktif secara tidak konvensional.
2.9 Tuturan Takharfiah
Tuturan takharfiah adalah tuturan yang maksudnya tidak sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya.
(21) HANDARBENI : Lho, Mbakyu, kalau begini aku harus bagaimana? Masakan aku harus melepas bekisarku meski katanya, dia hanya mau pinjam sebentar? Bagaimana Mbakyu?
BU LANTING : Nanti dulu, Pak Han. Anda bercerita gugup seperti kondektur ketinggalan bus….

(Belantik: 7-8)

Tuturan Bu mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan takharfiah karena tuturan tersebut mengacu pada maksud ujaran yang tidak sama dengan kata-kata yang membentuknya.

3. Berdasarkan Pelanggaran Prinsip Kerja Sama
Prinsip kerja dijabarkan ke dalam empat bidal, yaitu bidal kuantitas, bidal kualitas, bidal relevansi, dan bidal cara. Jika keempat bidal ini dilanggar akan tercipta percakapan yang tidak kooperatif.

(22)
LASI :

Yang penting duit ya, Bu?

BU LANTING :

Ah, kamu sudah mengatakannya. Meski tahu kamu berseloroh, namun aku menganggap kata-katamu betul. Itulah sikapku; dalam hidup yang penting duit. Maka bila jadi kamu, aku akan menuruti kata-kata ini: daripada sakit karena melawan pemerkosaan, lebih baik nikmati perkosaan itu. Ya, ini gila. Tetapi pikirlah. Kamu sudah membuktikan, ke mana pun lari kamu tak akan luput dari tangan Pak Bambung. …

(Belantik: 108-110)

Tuturan Bu Lanting pada penggalan teks (22) mengandung kekeliruan inferensi yang melanggar prinsip kerja sama, khususnya bidal kuantitas, karena Bu Lanting memberikan informasi yang berlewah yang sebenarnya tidak diperlukan oleh Lasi.
4. Berdasarkan Pelanggaran Prinsip Kesantunan
Prinsip kesantunan dijabarkan ke dalam enam bidal, yaitu bidal ketimbangrasaan, kemurahhatian, keperkenanan, kerendahhatian, kesetujuan, dan kesimpatian. Jika keenam bidal prinsip kesantunan ini dilanggar akan tercipta tuturan yang tidak santun.
(23) HANDARBENI : Jadi aku harus menyerah? Jadi biarlah Lasi dipinjam si pelobi itu?
BU LANTING : Lho, saya tak bilang begitu. Saya hanya bilang, rasanya aneh. Di satu pihak Anda pernah memberi Lasi kebebasan meskipun saya tahu dia belum bisa menggunakannya. Di pihak lain, Anda kelabakan ketika Bung Bambung kepingin bekisar itu. Bagaimana? Kok sepi? ….

(Belantik: 10)

Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik melanggar prinsip kesantunan bidal ketimbangrasaan pada penggalan teks (23) terdapat pada tuturan Bu Lanting karena memaksimalkan biaya kepada pihak lain dan meminimalkan keuntungan kepada pihak lain.

C. Fungsi Tuturan yang Mengandung Kekeliruan Inferensi Percakapan dalam Novel Belantik

Tuturan dalam novel Belantik yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan memiliki dua fungsi, yaitu sebagai (1) pemicu konflik eksternal; dan (2) pemicu konflik internal.
1. Pemicu Konflik Eksternal
Tuturan dalam novel Belantik yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang berfungsi sebagai pemicu konflik eksternal terinci ke dalam empat jenis konflik, yaitu percekcokan, pelecehan status sosial, penindasan, dan pemaksaan.


1.1 Percekcokan
Konflik eksternal yang berupa percekcokan ditandai dengan adanya percakapan yang mengandung pertengkaran atau perselisihan pendapat antara penutur dan mitra tutur.
(24) HANDARBENI : Mbakyu, jangan bicara begitu. Sebab, soal Lasi kuanggap lain. Dia tetap bekisar yang istimewa.
BU LANTING : Iyalah, Pak Han. Tetapi saya heran, kok Anda mendadak jadi orang normal? Kok Anda jadi kuno begitu? Mbok gampangan sajalah. Bila Lasi mau dipinjam orang, Anda punya dua pilihan. Pertahankan Lasi dengan risiko berhadapan dengan kekuatan lobi Bambung. Artinya, jabatan Anda sebagai direktur PT Bagi-bagi Niaga serta karier politik Anda sungguh berada dalam taruhan. Atau serahkan bekisar itu agar kursi Anda terjamin. Alaaah, gampang sekali, kan?

(Belantik: 9-10)

Tuturan Bu Lanting pada penggalan teks (24) memicu terjadinya percekcokan dengan Handarbeni. Handarbeni tidak akan menyerahkan Lasi begitu saja kepada Bambung, apalagi Bambung bukan atasan Handarbeni. Pernyataan ini menimbulkan reaksi yang lebih keras dari Bu Lanting dengan mengeluarkan kata-kata ancaman.
1.2 Pelecehan Status Sosial
Konflik eksternal berupa pelecehan status sosial dalam novel Belantik terekspresi dalam wujud dialog antartokoh yang mengandung unsur pelecehan status sosial, yaitu memandang rendah, menghinakan, atau mengabaikan pihak lain.

(25)
PAK MIN : Jadi wewarah itu buat siapa?

HANDARBENI : He-he-he, ya buat para petani dan wong cilik lainnya seperti Pak Min itu.

(Belantik: 20)

Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan pada penggalan teks (25) terdapat pada tuturan Handarbeni yang berfungsi sebagai pemicu konflik eksternal berupa pelecehan status sosial, yaitu melecehkan status sosial Pak Min yang hanya berprofesi sebagai seorang sopir pribadi.
1.3 Penindasan
Konflik eksternal berupa penindasan terwujud dalam percakapan yang mengandung unsur penindasan, yaitu memperlakukan pihak lain dengan sewenang-wenang dan lalim.

(26)
LASI :

…. Bapak sudah mendengar semuanya. Kini saya sedang mengandung anak suami saya, Kanjat. Jadi, apakah Bapak tetap menghendaki saya tinggal di sini? Saya menunggu tanggapan Bapak.

PAK BAMBUNG :

Sampai saya memutuskan lain, kamu harus tetap di sini. Soal kehamilanmu akan menjadi urusan dokter.

(Belantik: 113)

Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan pada penggalan teks (26) terdapat pada tuturan Bambung yang memutuskan agar Lasi tetap tinggal di Jakarta sebelum ada keputusan lain. Selain itu, Bambung juga melakukan penindasan terhadap Lasi agar mengugurkan kandungannya.
1.4 Pemaksaan
Konflik eksternal yang berupa pemaksaan terekspresi dalam percakapan yang mengandung unsur pemaksaan, yaitu mengharuskan pihak lain untuk melakukan suatu tindakan walaupun pihak lain tidak mau melakukannya.

(27)
LASI :

Sebentar, Bu. Kalau saya tak mau bagaimana? Atau, bagaimana bila kalung itu saya kembalikan?

BU LANTING :

E, jangan berani main-main dengan Pak Bambung. Dengar, Las. Dua-duanya tak mungkin kamu lakukan. Pak Bambung sangat keras. Kalau dia punya mau harus terlaksana. Dan kalau kamu mengembalikan kalung itu, dia akan menganggap kamu menghinanya. Maka kubilang jangan main-main sama dia. Kamu sudah tahu, suamimu pun tak berdaya.